Sekian banyak jam telah dihabiskan semata-mata karena ingin dijadikan sebuah pelajaran dan persiapan. Juga tak jarang tiap malam konsentrasi pikiran diputarbalikan dari ilmu akademik ke ilmu perjalanan. Itulah yang kami, ekspeditor DK AMI 2018, lakukan dalam menyambut sebuah misi menyebarkan semangat dan informasi perguruan tinggi ke daerah terluar Indonesia.

Salah satunya adalah pendidikan dan pelatihan berupa live-in di daerah non-kota.

Tapi di cerita ini aku hanya akan membicarakan hal-hal menarik yang walau mungkin sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan misi DK AMI.

~~

Desember, 5 hari sebelum libur Natal. Di depan kampus yang sudah absen akan mahasiswanya dan di pagi yang diragukan kecerahannya, kami dua belas ekspeditor DK AMI 2018 bersiap diri untuk sebuah perjalanan ke timur Bandung. Tepatnya sekolah Abiwara di Kecamatan Kertasari dan sebuah desa di Pangalengan. Ditemani dua orang pendiklat, kami semuapun meluncur dengan tujuh sepeda motor.

Di sepanjang perjalanan sebenarnya akan membosankan bagi yang sering bepergian sekitar bukit Bandung, tapi tidak denganku. Alam menyambut kami dengan serangan asap kabut. Kabut ini benar-benar membutakan layaknya kami sedang memasuki dunia lain. Kiri-kanan putih, di depan hanya tampak lampu merah motor, dan di belakang ada rawut wajah lelah ekspeditor lain. Sesekali juga terlihat pemandangan menawan yang seakan-akan kami sedang berada di dunia atas awan.

Kecelakaan di Jalan Menuju Kertasari

Hujan terus turun, membasahi lumpur sembari membawanya sepanjang jalan. Jangan salahkan alam kata hatiku, walaupun akhirnya tiga teman kami harus teluka akibat tergelincir di perjalanan. Tapi kecelakaan itu cukup membuatku cukup senang karena ternyata masih banyak masyarakat sekitar yang “hatena bageur” alias membantu banyak jika ada masalah.

~~

Untuk pertama kalinya akhirnya aku bertemu dengan kak Nas, saat kami tiba Sekolah Abiwara di Kertasari. Sosok inspirator yang sering diomongin di kalangan mahasiswa sosmas ITB. Inspirator yang merelakan title sarjana Geofisika UI nya “hanya” untuk membuat sekolah non formal yang tujuannya menghasilkan siswa yang percaya diri akan potensi diri dan bersemangat untuk mengejar citanya dengan berkuliah. Sembari menjadi kepala sekolah untuk belasan pelajarannya, kak Nas juga sedang mengejar S2 di Pertanian IPB. Dia masih jomblo ceunah (atau enggak?).

Kak Nas dan Abiwara Institute

Berbeda dari yang biasa kutemui, teman-teman di Sekolah Abiwara terbilang sudah sangat cakap di bidang akademik bahkan untuk sekelas pelajaran SBMPTN. Kalau di rumah belajar Skhole, masih banyak anak SD yang sulit mengerti pelajaran dasar, atau anak SMP yang lupa dengan pelajaran SD. Sayangnya aku tidak banyak mengobrol dengan kak Nas sendiri kenapa bisa demikan. Tebakanku, sepertinya kak Nas juga berpikiran bahwa ada kalanya kita perlu melihat sisi potensial daripada selalu melihat sisi permasalahannya. Teman-teman di sekolah ini bukan orang yang “susah” atau “terbelakang ilmu” atau semacamnya. Mereka tersaring, mereka sudah juara, mereka sudah jadi besi, tinggal bagaimananya mereka bisa diasah lebih untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat lebih.

Entah kenapa sejak menjadi ekspeditor DK AMI, aku berpikiran bahwa menempa manusia setengah jadi seperti teman-teman di SMA akan lebih berpengaruh daripada harus menempa manusia baru seperti teman-teman di SD. Anak SD, mereka anak-anak, bisa kapan saja mimpi mereka berubah, bisa kapan saja semangat bermain mereka tumbuh, bisa kapan saja semangat belajar mereka berkurang. Tapi kalau teman-teman yang sudah menginjak jenjang SMA, mimpi mereka benar-benar dipertaruhkan di masa ini. Semangat belajar dan porsi bermain mereka bisa mencerminkan akan besarnya keinginan mimpi mereka.

Jikalau aku melihat diriku sendiri, sejak SD sudah berapa kali aku berubah cita-cita. Hingga akhirnya aku tercerahkan bahwa sepertinya dunia konstruksi sipil adalah yang paling cocok. Pencerahan itu datang saat aku kelas 3 SMA, dan saat itulah juga aku mulai berhenti bermain-main dan mencoba untuk lebih serius tentang pendidikan ini.

“Yed, menempa teman-teman di SD itu yang ditempa bukan ilmu akademiknya melainkan moralnya.” Misal ada yang mengatakan seperti itu, hatiku spontan langsung akan menjawab, itu adalah tanggung jawab keluarga masing-masing yang seharusnya menghabiskan banyak waktu dengan anaknya.

Well, kadang pemikiran-pemikiran itu suka terlintas di sunyi malam. Tidak berarti aku kontra dengan program yang banyak melibatkan teman-teman di SD tho. Kalau ada yang ingin meluruskan, tolong langsung kabari aja ya.

~~

Lanjut berbicara tentang sekolah Abiwara, hal lain yang menarik adalah lingkungan sekolahnya. Sekolahnya sendiri diwarnai biru dan putih. Berdiri tegak sederhana dengan tiga ruangan yang bisa dibuka menjadi satu ruangan besar. Diisi dengan alat-alat mengajar dan buku-buku kiat sukses tes perguruan tinggi. Di sebelahnya ada lapangan cokelat yang cukup luas untuk menampung puluhan sepeda motor. Serta dikepung oleh indahnya kebun teh dan beberapa bangunan lain.

Perempuan Nyuci Piring, Lelaki Berpose

Pasca Dzuhur, kami berkesempatan untuk makan bersama di rumah kak Nas. Letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, 10 menit perjalanan turun ke arah kota. Sederhana tapi tampak mewah dengan jejeran buku ilmiah dan buku bacaan ringan di sudut ruangan utama, mulai dari tentang ilmu dasar pertanian hingga alasan bumi itu datar. Terpajang juga foto toga kak Nas bersama orang tuanya, dengar-dengar pengabdian yang kak Nas lakukan sempat ditentang keras oleh orang tuanya sendiri namun sekarang mereka bisa lebih mengerti.

Jadi teringat ucapan kak Didi, salah satu inspirator di kalangan mahasiswa ITB juga, yang telah berhasil mengelilingi Indonesia dengan Ekspedisi Semester Alam-nya. Kak Didi mengatakan bahwa “Kegelisahaan saat menjadi mahasiswa harus diselesaikan saat kita juga menjadi mahasiswa.” Ya itu mungkin juga jadi salah satu alasan semangat kak Nas dengan Abiwara Institute-nya.

Senangnya diriku, untuk kesekian kalinya bisa bertemu dengan inspirator hebat yang tentu telah terbukti membentuk inspirator-inspirator lain.

~~

Jam sudah menunjukan pukul setengah 5 sore dan matahari belum pernah menampakan diri sedikitpun. Tetapi kabut mulai turun dari gunung, memberi lampu hijau kepada kami semua untuk melanjutkan perjalanan ke desa di Pangalengan.

Di saat Kertasari mencerahkan sebuah pemikiran baru tentang pendidikan, desa di Pangalengan telah mencerahkan sebuah pertanyaan tentang kehidupan kota dan desa. Sayangnya, aku terlalu terlena dengan hari-hari nyaman di kota orang, sudahlah biarkan waktu yang merestui rangkaian cerita selanjutnya.

 

Pekanbaru, 26 Desember 2017

 

Fayed, Pemimpi Tapi Tidur