Sore itu di Bandung +709, orang-orang mulai duduk rapih seketika setelah menaruh tasnya ke dalam rak. Bapak orang India terus mengayun pelan-pelan anaknya yang menangis. Ada pula pasangan Tiongkok yang tidur nyaman di pojok belakang sedangkan temannya sangat sibuk dengan panggilan teleponnya. Ditambah pula ibu yang berkomunikasi dengan anaknya pakai bahasa Inggris. Suasana gerbong ramai beragam, sudah seperti kelas Internasional saja.

~~

Jadi rencananya, tim Nias DK AMI 2018 akan banyak melakukan mobilisasi selama 3 hari 3 malam untuk sampai ke Pulau Nias. Dimulai dari perjalanan kereta api 3 jam ke Jakarta, lalu naik mobil 1 jam ke bandara, terbang dengan pesawat ke medan selama 2 jam, lalu keliling di medan seharian sebelum lanjut ke Sibolga dengan bus. Naik bus menyusuri Sumatera dari bagian pesisir timur ke pesisir barat, sejak larut senja hingga larut subuh. Terus di Sibolga harus menunggu seharian lagi karena kapal laut penyebrangannya baru tersedia malam hari. Naik kapal laut, mabuk laut, digoncang laut, dihantam angin laut selama 12 jam. Hingga akhirnya tiba di Gunungsitoli, kota terbesar di Pulau Nias. Motor, mobil, kereta, pesawat, becak motor, kapal laut, wah semua moda transportasi ya digunain.

~~

“Tim Talifuso Nias sudah berangkat!” kata hatiku sesaat gerbong ini mulai bergerak. Kulihat keluar, perlahan kota Bandung ditinggalkan. Kulihat kanan, ada kak Zaki atau yang biasa panggil Bang Jek sibuk mengurusi chat yang datang dari teman-temannya. Bang Jek adalah ketua kelompok kami karena dia yang paling tua, Teknik Kimia 2014. Berwajah seperti artis jadi wajar saja kalau fansnya banyak. Di depan kami ada Caca dan Rama. Rama yang asalnya dari Cianjur ini sedang bergelut di bidang teknik sipil. Dia seangkatan sama aku, 2015, dan dia yang akan banyak membantu dokumentasi di kemudian hari. Lalu ada Caca, mahasiswi teknik planologi 2016, perempuan tercantik di tim kami. Caca adalah yang paling muda jadi wajar saja kalau dia selalu dibully, eh maksudnya disayangi. Kami berempat sibuk menjawab satu persatu pesan di hp ataupun terharu membaca kertas wejangan yang menumpuk. Sampai akhirnya, suasana magrib menidurkan kami.

Sampai di Jakarta, sudah ada orang tuaku yang menuggu di luar stasiun. Mampir sejenak di warung makan legendaris, Ayam Goreng Ibu Haji, sebelum lanjut pergi ke bandara Soekarno Hatta. Sebenarnya penerbangan kami tertulis jam 4 pagi, tapi berhubung kami takut ketinggalan akhirnya kami sudah standby di sana sejak pukul 11 malam. Eh nasib, ternyata terminal bandaranya tidak 24 jam alias kami tidak diizinkan masuk ruang tunggu langsung. Alhasil kami harus menunggu lima jam di bawah nyala bulan (re: emperan di luar) sebelum akhirnya terbang ke Medan.

Ngekhayal apa dek?
ceritanya lagi main laptop dan bahagia
foto auto ganteng

~~

Terbang adalah pengalaman tersendiri. Bagi yang pertama kali naik pesawat, pasti akan selalu ada rasa gugup dan menghindari duduk di dekat jendela. Bagi yang sudah pernah tapi jarang, biasanya jadi mengincar jendela. Lalu bagi yang sudah bosen, sebosen-bosennya, tempat duduk udah menjadi hal bodo amat. Untung waktuku pertamakali terbang, 12 tahun lalu, tidak ada hal-hal traumatik. Bahkan seminggu lalu aku baru saja simulasi terbang ke Pekanbaru. Jadinya kesempatan terbang sekarang jadi tidak ada rasa tersendiri, akhirnya malah ketiduran.

Rintik air mengetuk jendela, seakan-akan membangunkan kami yang baru saja melewati momen pendaratan pesawat. “Selamat Datang di Bandara Kualanamu Medan” kata si pramugari. Oh jadi ini bandara yang dibangga-banggakan orang Sumatera Utara, bagus juga. Kami berempat turun tanpa menggunakan jetway dan malah berujung berkeliaran di taxiway. Sebagai netizen yang baik, kami tidak lupa berpose dengan latar megahnya bandara untuk nanti dishare.

ATC Bandara Kualanamu
Somewhere in Sumatera

“Siapa temen Bang Jek yang mau jemput itu?”
“kak Dennie, tunggu aja dikit lagi sampe”

Inilah pengalaman pertama bertemu orang baru. “Zaki..!” teriak lelaki tinggi keren di samping mobil hitamnya. Nah itu dia kak Dennie, mahasiswa strata 2 teknik kimia di ITB yang alhamdulillah mau membantu kami di Medan. Langsung tancap gas, kami tinggalkan bandaranya. Sebenarnya kami tidak tahu harus ngapain di Medan, makan apa dan di mana, kalo mau liat-liat kemana, kalo mau naik bus bagaimana. Tapi berhubung kamera Rama tiba-tiba rusak saat di stasiun kemarin dan lensa Bang Jek ada fognya, yaudah jadi salah satu agenda utamanya adalah cari tempat servis kamera.

Dua anak teknik kimia, dalam satu mobil, dengan kondisi kiri-kanan hanya terlihat kebun sawit di mana-mana, pasti deh obrolannya gak jauh dari agroindustri. Sambil menyetir, kak Dennie cerita pengalamannya saat kerja di PT. Perkebunan Nusantara, Bang Jek langsung nanggepin dengan banyak pertanyaan serius, sedangkan kami bertiga malah senyum-senyum sendiri karena keheranan ini kenapa Bang Jek di mana-mana obrolannya harus selalu mikir.

kak Dennie and the nias gengs

Dari obrolannya mereka berdua yang kompleks level moderat, aku teringat beberapa kalimat menarik. Kak Dennie mengatakan bahwa sebenarnya perkebunan teh dan cengkeh yang ditanam PT.PN ini sebenarnya merugikan perusahaan, tapi ada komitmen untuk tetap menanam teh karena itu sebuah warisan budaya yang patut dipertahankan. Sedangkan kerugian akibat kebun teh itu nanti bakal ditutup dengan keuntungan kebun sawit. Ah gila, kok bisa baru tau gini.

Slogan “Ini Medan Bung!!” sangat terasa di sini. Kereta (atau di Jawa disebut motor) melaju ngebut-ngebut. Boro-boro ngizinin kita muter balik, ngerem aja kagak. Mungkin karena slogan itu sendiri yang mensugesti orang-orang Medan untuk melakukan hal-hal “keras”, ah tapi gaktau deh.

Becak motor di mana-mana, dengan gaya jalanan gersang, kami terus menyusuri entah bagian kota Medan yang mana. Kadang berhenti sejenak untuk menyicipi Soto Medan, Kwetiau Penang (mie nya kuning transparan), dan ketupat Medan yang pedas. Alhamdulillah juga kami masih ingat dan bisa untuk Sholat Jumat di Masjid sekitar. Pergi ke tempat servis kamera, tiga ratus ribu melayang di awal keberangkatan, tapi ya gapapa yang penting kameranya udah benar lagi. Berhubung sudah sore kami lanjut diantarkan mencari travel bus untuk ke Sibolga. Awalnya aku pikir busnya akan ada di terminal, ternyata ini malah di depo travel. Udah kayak depo DayTrans aja gitu, tapi mobilnya bus-bus gede.

Travel Bus Bintang Utara
Depo Travel Bintang Utara

Wajah-wajah Medan sesungguhnya terlihat di sini, yang mana didominasi oleh orang-orang Melayu. Seorang bapak terus keliling semangat menawarkan jualan sate telornya. Ibu depan kami malah duduk lelah sambil mengipasi anaknya. Juga terdengar suara petugas bis menyuruh bawahannya untuk mengangkat karung ke dalam bagasi. Di dalam sumpek, di jalanan luar juga sumpek, beda sekali dengan Bandung.

“Dek foto kami dek biar masuk tv!” tawa kedua supir bentor (becak motor) saat ngeliatku membawa kamera. Lanjut tanya “mau pergi kemana?”, “oh, pergi ke Pulau Nias pak, tapi sekarang ke Sibolga dulu”. “Wah hati-hati di Nias dek, keras-keras orangnya, lebih keras daripada Medan!” ketawa lagi. Aduh si bapak bisa aje, kami belum sampe aja udah ditakut-takutin. Tapi sebenarnya memang sudah banyak yang mewanti-wanti kami juga sih. Ada yang bilang orang Nias masih primitif lah, Nias tuh ini itu lah, bahkan ada yang cerita kalau dua minggu lalu baru saja ada pembunuhan 4 orang meninggal di kapal laut Sibolga-Nias. Gelok!

Ini dia yang nakut-nakutin

Dengan doa dan harapan niatan yang baik akan dibalas dengan hal yang baik juga, kami lanjut pergi dengan bus yang sudah dipasang armor jeruji lengkap untuk menerjang medan Sumatera yang luar biasa ganas. Pergi pada malam hari menyusuri jalanan Sumatera. Prinsip sleep while you can sleep langsung menghantui, berakhir ke diriku yang tidur lagi di perjalanan. Ah, tubuh ini gak sabar merasakan hidup di Sibolga.