Gelap mencekam dan dingin yang membuat jari-jari ngilu menyambut bangunku. Bus yang awalnya gerah dan bau asap rokok ini tiba-tiba berubah menjadi kulkas berjalan. Di luar tidak ada apa-apa, yang terlihat hanyalah pantulan wajahku yang pucat kedinginan. Kami belum sampai, entah di mana ini, yang pasti jam menunjukkan jam 4 subuh. Dua jam lagi Sibolga akan terlihat.

Aku terus membayangkan kota Sibolga itu akan seperti apa, apakah mirip dengan Medan yang padat atau malah sepi asri? Satu hal pasti yang kutahu, kota ini langsung berhadapan dengan samudera lepas dan hanya Kepulauan Nias sebagai penghalangnya. Sedangkan Medan yang di sebelah timur Sumatera hanya memiliki Selat Malaka sebagai lautnya. Biasanya kalau langsung berhadapan dengan samudera lepas, pantainya akan indah-indah, mari kita lihat nanti.

~~

“Bangun Yed, udah sampe!” Kata Rama. Dengan setengah sadar aku coba mengambil dan memastikan semua barang tidak tertinggal. Kami berempat turun bis, menyilaukan, seperti baru saja keluar dari gua. Ramai dan berisik itulah kata yang bisa menggambarkan terminalnya. Tukang angkot menawarkan tumpangan, tukang becak menyerbu, dan kami hanya berlagak sudah dijemput oleh orang. Sambil membawa tas-tas besar, perlahan kami menyusuri jalan. Kita ke masjid raya Sibolga nanti akan ada teman yang ngejemput, kata bang Jek. Simpang demi simpang kami lewati. Satu persatu mata melirik sinis ke kami, keheranan siapa orang-orang ini, apa yang akan mereka lakukan, kenapa mereka berpakaian seragam—flanel satu warna untuk keempat ekspeditor tim Nias.

Kota Sibolga yang terbilang tak terlalu padat ini ternyata memiliki Masjid Raya yang bagus. Kubah megah kuning dengan menara tinggi menjulang menghiasi salah satu simpang kota. Kota yang mayoritas Islam dan Kristen ini hidup rukun harmonis.  Lalu tak jauh dari sini ada Sekolah Menengah Pertama. Jam 8 pagi, gerombolan berseragam pramuka berkeliaran di sudut jalan. Tampil percaya diri sebagai pemegang masa depan kota di pesisir barat Pulau Sumatera ini.

Ada masalah, rencana ganti, geser teklap, keluar tambahan uang. Klise, perjalanan memang dinamis. Teman Bang Jek mendadak tidak bisa, tapi ada kenalan lagi yang siap bantu dan tinggal di daerah Pandan—daerah sebelah Kota Sibolga. Lanjutlah kami naik angkot yang mendadak sempit karena tumpukan tas besar. Pantai-pantai Sibolga mulai terlihat. Bersih. Asri. Sepi. Namun rasa senang kami langsung dipadamkan dengan cerita orang seangkot yang pernah berlibur ke Nias. Dia mengatakan di Nias kemana-mana seram, apalagi untuk wanita yang berjilbab. Raut wajah Caca tiba-tiba berubah.

Menyusuri Jalan Sibolga
Masjid Raya Sibolga

Di Pandan, kami ditemani oleh Nur, mahasiswi Universitas Brawijaya Fakultas Kelautan dan Eka, mahasiswi Universitas Udayana Fakultas Pariwisata. Suasana di Pandan sedikit berbeda dengan di Sibolga. Jalanan lenggang, minim lampu merah, pantai indah, tugu bundaran menghiasi Pandan. Eka dan Nur banyak cerita tentang daerahnya dan juga keinginan mereka main ke Bandung[1]. Mereka setia menemani kita untuk jalan keliling walau matahari lagi tampil terik. Di Pandan juga lah untuk pertamakalinya kami merasakan naik becak motor.

Pepatah Medan mengatakan “Hanya Tuhan dan pengemudi bentor yang tahu kapan bentornya akan belok”. Pepatah itu benar adanya, tapi mungkin perlu ditambahkan bahwa penumpang bentor juga tahu kapan beloknya. Karena salah satu penyebab “mendadak belok” itu ya permintaan penumpang yang tiba-tiba menyuruh minggir kiri. Persis seperti apa yang kami lakukan di Pandan.

Jalanan Pandan
Kokoh
Tugu Bundaran Sumatera Utara di Pandan
Menikmati Luasnya Lautan
Rekreasi Keluarga di Pantai Pandan

~~

“Orang Medan dan Nias banyak loh yang merantau kesini untuk sekolah” Kata Eka saat bersama ayahnya mengantarkan kami ke Pelabuhan Sibolga malam-malam. Di dalam sana ada sekolah asrama unggulan namanya SMAN 1 Matauli Pandan, tambahnya sambil menunjuk ke gerbang depan sebuah jalan. Sekolah itu telah banyak mencetak lulusan terbaik dari Sumatera Utara. Lulusan yang menjadikan kampus semacam ITB, UI, UGM sebagai cadangan karena banyak dari mereka yang lanjut beasiswa ke luar negeri. Wajar, karena mewujudkan generasi emas yang tanggap, tangguh, tanggon dan trengginas serta berkarakter adalah salah satu misi sekolahnya. Bahkan pihak sekolah mengklaim title SMA terbaik se-Indonesia dimiliki oleh SMANSA Matauli Pandan[2].

Naik Becak Motor | Eka dan Ayahnya di Pelabuhan Sibolga
WJL Lines – Wiraglory

Kami akhirnya pamit dengan Eka dan ayahnya sesaat sebelum menyebrang jembatan ke dermaga. Wira Glory tertulis di sisi kapal. Sialnya, kapal ini ternyata adalah tempat terjadinya kasus pembunuhan dua minggu lalu yang diceritakan orang-orang di Medan. Kapalnya terlihat besar. Biru. Lancip. Seram. Layaknya kapal tempur. Petugas berseragam lengkap siap menagih tiket kami yang bertuliskan “tanpa kasur”.

Bulan menyala terang. Suara ombak datang tanpa henti. Tiupan angin yang menusuk datang sesekali. Semua terlelap dalam sunyi. Dengan hanya beralaskan kardus, tidur emperan di geladak depan kapal bukanlah sebuah mimpi ekspeditor yang biasa tidur nyaman di kasur. Di kondisi ini tiba-tiba terenung, kenapa harus sesusah ini, kenapa mau rela melakukan ini. Namun di sini lah bagian terbaiknya, kita jadi bisa berduaan dengan Yang Maha Pencipta, menceritakan segalanya, dan menerima jawaban semuanya. Khusyuk. Mesra.

Subuh di kapal ini bukanlah sesuatu yang mudah, musholla yang disediakan ternyata sudah diisi orang-orang beristirahat. Terpaksa kami bergantian sholat di bawah tangga geladak. Paginya kami kedatangan teman main, anak-anak cantik dan lucu berdatangan. Menggoda kami malu-malu karena mau salak lagi yang awalnya hanya kami kasih satu. Siapa sangka puluhan salak pemberian ayahnya Eka langsung ludes dalam hitungan menit setelah dikasih ke anak-anak itu. Mereka adalah putri-putri dari keluarga yang sedang ingin pindah ke pulau Nias. Si Ibu tampak senang melihat anak-anaknya bisa makan puas.

“Kamu cita-citanya mau jadi apa?” Tanya Bang Jek ke anak yang paling tua, Anita, gadis berumur 14 tahun. “Mana mungkin aku bisa bercita-cita kak, aku kan udah putus sekolah!” Jawab dia tiba-tiba. Kami berempat hening. Entah karena tidak percaya kalimat itu bisa keluar dari mulut si Anita. Entah karena merasa sedih jika itu benar adanya. Entah.. entah tidak tahu lagi. “Terus sekarang ngapain?” lanjut tanya kami penasaran. Bantu orang tua nyadap karet di kebun, jawabnya. Dia lanjut bercerita banyak tentang kondisi masa lalu keluarganya yang sampai-sampai sekarang sekeluarga harus pindah ke pulau Nias.

Sedih memang mendengar semua yang diceritakan. Tapi, kondisi anak-anaknya tidak semiris itu. Buktinya mereka semua pandai membaca! Dari yang terkecil hingga yang paling tua, semuanya bisa membaca bahkan penasaran dengan Buku Ki Hajar Dewantara—buku langka inceran masa kampus ITB—yang sedang dipegang Bang Jek. Melihat ketertarikan ini, tanpa berpikir panjang Bang Jek langsung memberi buku itu ke Anita. “Nanti kalau kamu udah besar, kembalikan bukunya ke kakak lagi ya, alamat kakak ada di halaman belakang.” Ujar bang Jek dengan penuh kepercayaan dan harapan.

Walau buku itu mahal dan susah didapatkan, tapi jika manusia sudah percaya, semua bisa terabaikan begitu saja. Kepercayaan inilah yang telah membentuk peradaban beragama, kepercayaan inilah juga yang telah menjadikan masing-masing dari kita punya pemimpin. Walau seperti sangat tidak mungkin dia akan mengembalikan bukunya, tapi di situ ada sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang secara tidak langsung menyuruh dia untuk berusaha keras mengembalikannya lagi. Berusaha keras dalam menuntut ilmu, berusaha keras untuk mendapatkan uang, berusaha keras sampai tujuan terakhirnya tercapai—mengembalikan buku. Kepercayaan yang juga mungkin bisa mengukir takdir baru.

Kepercayaan dan Harapan : Anita dengan Buku Barunya
Sunrise Laut Nias
Pandangan Pertama Pulau Nias

~~

Kapal kami datang siap melabuh. Semua orang sudah siap dengan bawaannya dan kendaraannya masing-masing. Mengambil posisi agar dapat keluar secepatnya seakan sudah tidak tahan dengan suasana kapal.

Di Kota Gunungsitoli inilah impresi pertama kami tercipta akan pulau yang dikenal dengan keelokan budayanya. Melangkahkan jejak pertama kami di Pulau Nias seakan memasuki dunia berbeda. Orang kulit putih mendominasi, bermata lebih sipit dan bewarna-warni. Hanya beberapa ratus kilometer dari Sibolga, terisolasi oleh laut, sampai-sampai pegunungan Sumatera pun sudah tak sanggup terlihat. Kini pemandangan atap kayu, atap seng, bersalib, dan berkubah mendominasi di balik deretan pohon-pohon tinggi.

“Akhirnya sampai” ucap puas batinku.

~~

[1] Eka dan Nur akhirnya main ke Bandung pada 22 – 27 Januari 2018

[2] Dikatakan oleh pendiri sekolah yang juga mantan ketua DPR RI—Akbar Tanjung