Di tengah desas-desus jahat yang beredar di sebrang laut sana, kami malah terus lanjut melangkahkan kaki tanpa ragu. Bagi sebagian orang, ini adalah sebuah langkah nekat. Namun di ujung jalan sana sudah ada pemuda-pemudi yang menunggu terhalang sekat.

Tidak ada angkutan umum mobil yang langsung bisa mengantarkan kami dari pelabuhan langsung ke kota. Bermodalkan suara kenalan orang Nias yang keluar dari handphone bang Jek, kami mendapatkan harga becak motor yang cukup murah. Supir bentor yang mengaku asalnya dari Jawa Timur ini langsung menghapus segala rasa penat 10 jam perjalanan laut kami. Bagaimana tidak, saat kami tanya nama kota di Jawa Timurnya apa, dia menjawab “pokoknya yang dekat Medan”. Akhirnya sepanjang perjalanan kami hanya bisa senyum-senyum sendiri menahan tawa.

~~

Terlepas dari daratannya yang terpisahkan ratusan kilometer dari pulau utama Sumatera. Pulau Nias sudah memiliki banyak Ono Niha[1] yang berpengaruh pada negeri ini, dari tokoh politik yang menduduki bangku parlemen Indonesia, perselancar yang mendunia, mahasiswa berprestasi di kampus ITB, bahkan komunitas pendidikan yang didirikan oleh lulusan pendidikan tinggi di pulau itu.

Komunitas ini tidak terlahir begitu saja, melainkan lahir karena sebuah kesadaran tentang “balasan atas keberuntungan mendapatkan pendidikan lebih”. Namanya adalah Komunitas Rumah Kita. Mereka jugalah yang telah berbaik hati bersedia menampung kami di rumah sekretariatnya. Rumah bewarna hijau yang lengkap dengan kamar mandi, dapur, listrik, ruangan yang lega, dan posisinya yang strategis.

Sekretariat Komunitas Rumah Kita

 

Kak Jenny dan Kak Yoga

Apalah jadinya kami jika tanpa dua orang ini. Mereka yang telah membantu kami menawar becak motor dari pelabuhan, menyambut kami di pulau asing, memberikan tempat tinggal, dan mengajak keliling survey jalan. Perkenalkan, mereka adalah kak Jenny dan kak Yoga. Kini Tim Talifusö Nias tidak lagi berisikan empat orang!

~~

SMAN 2 Gunungsitoli yang letaknya jauh ke arah utara pulau ini menjadi destinasi pertama kami. Kehadiran kami memang membuat penasaran bagi siswa di sana, begitu pula juga dengan kami yang penasaran untuk keliling sekitar di saat mereka melakukan apel pagi. Gedung sekolah yang tegak berdiri mengelilingi sebuah lapangan besar membentuk persegi panjang dengan lubang di tengah. Lapangan terhias dengan mimbar, tiang bendera, dan batu loncat khas Nias.

Singkat cerita, semua siswa kelas XII kini sudah terkumpul di ruangan kelas. Suasananya sangat kaku. Kami tidak mau datang kesini seakan-akan sedang promosi program asuransi anak muda, atau sedang menawarkan bisnis MLM. Kami datang karena mau menjadikan mereka teman berbagi, bukan orang yang meneriaki muka mereka untuk wajib lanjut berkuliah di kampus A.

Apel Pagi
Pemandangan Pengalaman Pertama

 

Tampan

“Bapak proklamator kita pernah berkata, gantungkanlah mimpimu setinggi langit sebab jika kamu jatuh, kamu akan jatuh di antara bintang bintang.”

“Kalimat sederhana namun penuh makna. Mengajarkan kita sebagai pemuda bangsa, untuk terus mau bercita bukan berputus asa.”

“Tanpa kami, mimpi kalian akan tetap ada. Tapi semoga bersama kami, mimpi kalian akan semakin nyata.”

“Selamat pagi SMA Negeri 2 Gunungsitoli!!”

Kalimat di atas adalah kalimat dari Rama yang menjadi andalan tim Talifusö Nias untuk membuka sebuah presentasi. Serentak semua siswa di hadapan kami langsung menjawab salam dengan senyum lebar dan mata berbinar. Suasana kaku berubah menjadi cair, ditambah pada sesi pengenalan diri yang mewajibkan kami harus menjadi orang yang sepede-pedenya.

Sebulan sebelum perjalanan ini dimulai, kami seluruh ekspeditor sudah dibekali banyak ilmu termasuk menjadi public speaker. Prinsip yang ditanamkan adalah “Open with Bang! Close with Bang!” dan “Penilaian diri cukup dilihat dari cara pengenalan diri”. Kami semua harus hati-hati dalam membentuk sebuah impresi pertama. Jika membuka presentasi layaknya sedang membuka sebuah presentasi sidang tugas akhir maka hasilnya akan jauh dari ekspetasi. Audiens kami adalah siswa SMA maka kami juga harus memposisikan diri tidak jauh-jauh dari mereka jika ingin menjadi teman berbagi.

Hari semakin siang, presentasi satu setengah jam-an diakhiri, kami langsung bergegas menuju ke SMAN 1 Gunungsitoli. Sekolah yang memang terletak di tengah kota ini telah menjadi SMA negeri primadona Pulau Nias. Di komplek gedung dua lantai dengan warna krem oranye ini sempat terjadi gagal komunikasi. Kedatangan kami ditolak oleh beberapa guru karena sudah waktunya pulang. Kepala sekolah juga sedang tidak ada. Untungnya ada seorang guru yang sudah mengenal sekali ITB, dia bersikeras kepada guru lainnya untuk memberikan waktu dan tempat kepada kami. Setelah cek-cok ini-itu, diizinkanlah juga kami.

Berbeda dari adiknya, SMAN 1 Gunungsitoli sudah sangat bagus dari segi fasilitas dan program sekolah. Terbukti dengan ruangan kelas yang terhias rapih dengan berbagai kreatifitas siswa dan antusiasme murid di sini. Ada Ananias yang memang sudah bermimpi untuk masuk SAPPK-Planologi ITB. Ada Vita yang ingin FTI-Teknik Kimia ITB. Ada Rivka, Afzal, Rasma, Albert, Putra dan teman-teman lainnya yang luar biasa semangatnya sampai masih terus konsultasi soal SBMPTN via whatsapp hingga sekarang. Pihak sekolah juga sudah menjadwalkan waktu untuk belajar bersama dalam persiapan tes perguruan tinggi.

Heboh Sendiri
Albert Sang Pe(mimpi)n
SMAN 1 Gunungsitoli

Dari daerah pesisir, kami lanjut menjelajahi daerah ke yang lebih ke tengah. MAN 1 Gunungsitoli menjadi destinasi sekolah ketiga kami di masih hari yang sama. Sudah menjelang Ashar saat itu, presentasi berjalan dengan mulus. Berangkat dari sebuah pemikiran bahwa budaya sekolah umum dengan madrasah berbeda, akhirnya kami berempat menyambungkan semangat berpendidikan tinggi dengan hadist-hadist dan tokoh-tokoh inspiratif seperti imam muda Muzammil Hasbullah. Jangan salah, video Ar-Rahmannya Muzammil sudah terkenal sampai Pulau Nias.

Menyakinkan orang Nias untuk mau mengadu nasib di luar pulau adalah suatu omong kosong jika yang berbicara adalah kami-kami sebagai orang yang datang dari Jawa. Untung di sekolah ketiga MAN 1 Gusit, kami tidak sendirian. Ada kak Sondroro, alumni STKS Bandung, yang memang orang Nias asli. Otomatis semua pertanyaan tentang keraguan, ketakutan, dan masalah persetujuan orang tua sudah siap jawabannya di otak kak Doro.

“Yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa membuktikan kepada orang tuamu kalau kamu sudah siap pergi jauh.” kata kak Doro. Mana mungkin orang tua mengizinkan anaknya pergi jauh dari rumah untuk kuliah padahal nyuci baju sendiri saja tidak bisa, menjaga kamar tetap bersih apalagi, pulang masih selalu larut malam, belajar juga jarang. Kalau kita dari satu tahun terakhir berusaha untuk memperbaiki diri dan membuktikannya kepada orang tua kalau kita sungguh-sungguh, pasti orang tua lama-lama luluh hatinya. Lagi-lagi pencitraan bermain. Tapi bukan berarti pembuktiannya dilakukan dengan tidak tulus.

Cover Sinetron
Kak Doro di MAN 1 Gunungsitoli

Rinai hujan membasahi. Sapa angin berdiskusi. Kedamaian datang sejenak ke daratan pulau indah ini. Hari itu memang sudah tiga sekolah yang dikunjungi, tapi kami harus segera mobilisasi lagi ke arah selatan—Kecamatan Gidö (dibaca Gide).

Pondok pesantren Hidayatullah Gidö adalah destinasi kami terakhir yang juga tempat untuk bermalam di hari itu. Sekolah yang dibangun di sebrang Bandara Binaka Nias dan persis di perkampungan yang berbeda ajaran agama tetap menjaga kerukunan selalu tersimpul di semua elemen lingkungannya.

Secara personal, pihak pesantren meminta kami untuk berbicara di depan santri-santri. Alhasil, perkumpulan sampai tengah malam di sebuah aula kayu sederhana, duduk lesehan, lengkap dengan suara jangkrik, tak terhindarkan. Dari aku sendiri sangat tidak masalah untuk menunda tidur, ini adalah sebuah pengalaman pengabdian sekali seumur hidup (semoga tidak).

Mengusik Gelap Malam

Berbicara tentang pengabdian, kalian harus mengenal Alim dan Fahrun. Mereka adalah santri Pesantren Gontor Jawa Timur, yang dikirimkan oleh guru besarnya untuk mengabdi setahun di Pesantren Hidayatullah Gidö . Alim bercerita bahwa awalnya suka bete sendiri kenapa harus ke Pulau Nias yang dalam kata lain dia kini terpencil dan menjadi kaum minoritas. Namun beriring jalannya waktu, dengan sebuah kesabaran dan keikhlasan untuk mengabdi beribadah karena Allah, dia mulai mengetahui hikmahnya. Semoga pengabdiannya bisa memperlancar mimpi mereka untuk lanjut berkuliah di ITB. Aamiin.

 

~~

Tengah malam, benar-benar sunyi. Kini yang kulihat adalah laba-laba. Dia terdiam sendiri di papan kayu yang melindungiku dari rasa dingin. Dalam ruangan yang hanya ada selimut dan lampu remang, kami mencoba mengakhiri hari.

Aku memejamkan mata dalam kelelahan yang amat sangat. Perjalanan tanpa henti ke empat sekolah di hari pertama dengan cuaca panas dingin cukup membuat badan ini remuk. Tapi otak ini masih ingin berpikir. Malam bukanlah waktu untuk pikiranku beristirahat. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, sudahkah sehari ini meninggalkan kebermanfaatan? Jika ya, yang seperti apa? yang diniatkan untuk siapa? yang ditujukan untuk apa?

Sementara, tubuh ini sudah tertidur lelap.

~~

[1] Ono Niha adalah panggilan untuk orang Nias.