Selama ini makan minum masih enak. Tidak terlalu kesulitan seperti cerita-cerita orang. Alhamdulillah. Kalau mau masak, Ibu saya tinggal ke warung sebelah untuk beli bahan. Ade saya yang mengungsi dari Riau juga di tetap rumah saja, mengerjakan tugas-tugas kuliah. Sayapun sudah full work from home sejak hampir 3 bulan lalu. Paling yang suka bikin was was, ya ayah saya, yang harus keliling kampoeng tiap pagi malam. Kesana kemari untuk sweeping orang-orang yang masih berlalu-lalang dan tidak bosan menyampaikan beribu alasannya. Lelahnya tentu minta ampun, sampai-sampai ingin segera mundur dari jabatannya itu–sebagai Ketua RW.
Kalau dilihat peta zona Covid-19, daerah rumah saya memang sudah merah. Ya bisa dibilang data itu akurat. Karena beneran ada orang yang meninggal akibat terduga sakit itu. Walaupun anehnya tidak pernah dinyatakan secara langsung demikian. Semua orang bisa menduga-duga begitu karena jenazahnya tidak boleh dibawa pulang dari rumah sakit. Ayah saya yang pengen nyelawat pun langsung balik badan.
Berbeda dengan saya, yang ekstrim untuk tidak mau keluar rumah sama sekali. Bahkan sempat mengurung diri di dalam kamar beberapa hari. Waktu itu saat masih zaman awal-awalnya Indonesia panik Corona. Tepatnya saat rombongan kerajaan Belanda datang ke Indonesia dan disambut Menteri Perhubungan–Pak Budi Karya. Sebagian rombongan Belanda ini juga ketemu saya yang kebetulan lagi di Tanjung Priok. Memang tidak terjadi kontekan langsung. Lah tapi dia ngobrol dan salaman dengan orang yang kemudian juga salaman dengan seseorang yang akhirnya salaman sama saya. Paham kan? Jadi saat Pak Budi Karya dinyatakan positif maka rombongan Belanda itu langsung melakukan self isolation. Akhirnya saya terus komunikasi sama teman saya waktu di Tanjung Priok itu. Merasa sakit tidak? ada gejala-gejala tidak? jawabannya tidak semua. Jadi sepakatlah bahwa kami tidak apa. Sebelumnya akhirnya… saya pergi ke Bandung.
Beberapa hari setelah berita Pak Budi karya positif, Pemerintah Jakarta sudah mulai terlihat tegas terkait langkah-langkah yang mau diambil. Tapi saat itu belum sampai ke PSBB atau bahkan lockdown wilayah. Jadi saya masih bisa pergi ke Bandung untuk ketemu kolega kuliah. Tidak jauh berbeda, di Bandung ternyata sudah mirip dengan Jakarta. Orang-orang sudah pada insecure, apalagi saya dari Jakarta. Kampus ditutup, tidak boleh ada mahasiswa/i yang keluar masuk. Yasudah saya malam mingguan di Sushi Tei saja. Restoran ini biasanya selalu waiting list, tapi ternyata sekarang enggak. Saya tanya-tanya sama pelayannya, dia bilang ini masih tergolong rame. Restoran lain sudah ada yang benar-benar sepi banget, di malam minggu sekalipun.
Baiklah saya makan minum deh di Sushi Tei. Gak ada hujan, gak ada geledek, tiba-tiba saya pilek. Lah aneh banget. Terus tiba-tiba pusing. Terus tiba-tiba ngantuk berat. Nafas seperti tidak ada oksigennya. Lemas. Akhirnya saya bilang ke kolega saya, izin mau tidur di meja dulu haha. Setelah 15 menitan tidur di restoran, badan sudah agak enakan. Lanjut lagi deh makan minumnya, dan ya waktu itu akhirnya jadi makan berlima.
Singkat cerita, saya balik lagi ke Jakarta pakai travel di Hari Minggu malamnya. Besok pagi sudah harus kerja ke kantor. Tiba-tiba ada pesan masuk dari salah satu teman makan kemarin. Dia cerita, badannya kok demam tinggi, sesak dan batuk-batuk juga. Nah loh! yaudah akhirnya dia mengurung diri di kamar kosannya. Banyak-banyakin minum air putih juga. Tidak akan keluar beberapa hari kedepan, bahkan untuk ke dokter sekalipun. Saya yang besok mau ngantor jadi panik sendiri. Tidak mau ambil resiko, saya putuskan tidak akan ke kantor dulu.
Beberapa hari kemudian, teman saya yang sakit sudah mulai merasa enakan. Tapi beda cerita dengan salah satu teman yang lainnya. Dia berniat mau pergi ke Surabaya waktu itu. Tapi badannya juga tiba-tiba demam. Alhasil ditunda juga perjalanannya, self isolation pula. Membaik pula akhirnya.
Begitulah dramanya. Setelah merasa benar-benar yakin sehat, saya sempat ke kantor lagi beberapa hari, sebelum akhirnya pemerintah membuat kebijakan untuk work from home. Kolega yang di Bandung juga buru-buru pada pulang ke asalnya masing-masing sebelum berlakunya lockdown wilayah.
Sampailah hari ini. Hampir sudah tiga bulan, kami terus beradaptasi. Yang biasa kerja lembur di kantor, jadi lembur meeting online terus di rumah. Yang sedang jalanin studi magister, jadi kelas online terus. Yang sedang mengerjakan tugas akhir, jadi bimbingan online terus. Yang lagi cari pekerjaan, jadi sibuk di dunia online terus.
Tapi ada satu hal yang terlewat. Saya gagal beradaptasi untuk bisa hidup sehat. Tanpa sadar, sudah berminggu-minggu badan tidak disiram sinar matahari. Alhasil, gejala asma yang sudah sembuh sejak belasan tahun lalu tiba-tiba kembali hadir.
Ini sudah seperti pepatah ‘gajah lalu dibeli, rusa tidak terbeli’. Artinya mengerjakan sesuatu yang penting dengan melupakan hal kecil yang sebenarnya sangat perlu untuk menyelesaikan sesuatu yang penting itu.
Kalau sudah begini, apalagi yang bisa dilakukan selain harus semakin banyak bersyukur, bersedekah, dan berkhayal pergi ke pantai.