Semua film produksi Ghibli seakan memiliki kelasnya tersendiri di banding film animasi lain. Bahkan kalau boleh lebay, perlu ada penamaan genre film berupa ‘genre: Ghibli’ karena saking uniknya.

Saya tidak begitu ingat film Ghibli yang pertama kali saya tonton, tapi yang pasti Princess Mononoke menjadi film yang berhasil bikin rasa ingin tahu saya menggelegar. Saya kalau memang menemukan video atau film bagus, pasti suka langsung liat siapa producernya, apa studionya? dan ketemulah waktu itu nama Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli. Ya tidak lama berselang, hampir semua film produksi mereka saya babat habis.

Tapi jujur, namanya juga anak muda, waktu itu saya sukanya karena visual filmnya bagus-bagus banget. Nyaman di mata. Memancing imajinasi lebih. Beda dari film kartun atau animasi biasanya. Tapi seiring waktu, saya semakin menghargai cerita dan latar belakang dari semua aspek film itu. Buktinya apa? karena di tiap saya nonton ulang film Ghibli maka film paling favoritnya akan berganti-ganti bergantung masa.

From Up on Poppy Hill, film favorit Ghibli di masa SMA. Lagu-lagunya luar biasa bikin semangat, contohnya Breakfast Song (Asagohan no Uta). Ini lagu selalu diputar untuk membakar semangat belajar waktu itu. Pembawaannya sangat ceria. Maka ceritanya pun begitu. Film ini tentang anak SMA perempuan–bernama Umi–yang bersekolah di kota pesisir Jepang. Latar waktunya adalah masa sekitar Perang Dunia Kedua (yap seperti latar waktu film Ghibli pada umumnya). Di sekolah baru itu, Umi mulai tertarik dengan seseorang yang dari sana mereka senang melakukan banyak hal berdua dan diikuti teman-temannya. Ceritanya mengalir penuh tawa dan menunjukkan keseruan masa-masa SMA. Walaupun akhirnya muncul masalah utama dari cerita ini, tapi tetap aja masih sebahagia itu untuk dinikmati.

Studio Ghibli, Anime, Up On Poppy Hill, School Uniform Wallpapers HD /  Desktop and Mobile Backgrounds
Movie review: Another Studio Ghibli triumph with “From Up on Poppy Hill” –  The Denver Post

Lalu kenapa film ini jadi favorit di masa SMA? jelas! ini cerminan banget masa-masa SMA waktu itu. Saat tidak ada beban takut akan masa depan, masih bisa main kesana kemari. Rasa-rasa di dalam hati hampir selalu ceria. Main bersama dengan teman-teman seru tapi tetap dia yang dispesialkan.

Masuk ke masa kuliah, khususnya tingkat satu sampai tiga, maka nominasi film terfavorit berganti ke Ocean Waves. Masih sama dengan From Up on Poppy Hill, film ini masih realitis alias cerita tentang manusia–maksudnya tidak ada kucing terbang atau nenek-nenek sihir. Ocean Waves bercerita tentang Taku, seorang siswa yang di sekolahnya ada seorang siswi hits dan dikagumi semua orang–yang namanya Rikako. Taku punya sahabat namanya Yutaka yang kebetulan curhat ke Taku kalau dia jatuh hati dengan Rikako. Padahal dalam hatinya Taku, “Lah sebenarnya gua juga seneng doi bos, tapi sebenarnya gak terlalu sih”. Selama di sekolah, Yutaka terus ngejar-ngejar Rikako, tapi Rikako-nya malah menghindar. Sampai suatu saat sekolah mereka ada liburan bersama ke Hawaii dan dari sana Taku seakan ditiban rezeki nomplok karena akhirnya jadi dekat dengan Rikako. Tapi sayangnya rezeki itu hanya kefanaan yang menyiksa.

Film ini memang sangat klise dengan cerita percintaan anak mudanya. Tapi semua adegan, latar tempat, dramanya, dan bahkan penampilan tokohnya sangat… bisa dibilang sangat mirip dengan apa yang terjadi di masa kuliah saya waktu itu. Ketika saya nonton, salah satu jaket favorit yang saya sering pakai adalah Jaket Bomber Merah dan adegan ini juga terlalu mirip dengan dunia nyata haha

L² Movies Talk: Ocean Waves / I Can Hear the Sea 海がきこえる
Studio Ghibli's Ocean Waves

Film ini menjadi favorit bukan karena hanya yang disebutkan di atas, melainkan karena permasalahan yang ada membuat saya banyak berpikir banyak tentang ‘manipulasi dan konsekuensi’. Jujur, transisi gaya hidup dari SMA ke perkuliahan waktu itu sangat menantang. Tiap orang mulai pada asik dengan dunianya sendiri. Pasangan yang lebih senang eksklusifitas daripada heboh bersama teman-temannya. Kelumrahan seru-seruan dan tidur dengan perempuan di satu atap. Duit dan kondisi keluarga tiap orang mulai menjadi menjadi momok kehidupan dan sumber dari semua masalah. Banyak pertengkaran dengan teman-teman dekat akibat hal yang dianggap penting padahal sebenarnya gak penting. Dan yang paling utama, film ini memperkenalkan lebih tentang aesthetic life yang senada dengan tren ‘anak senja’ di masa perkuliahan ehe.

~~

Lalu saat tiba masa yang disebut masa tingkat akhir, maka semua hal kembali berubah. Semangat berkarya meletus-letus agar bisa memberikan peninggalan yang terbaik di masa terakhir perkuliahan. Prioritas dan rencana hidup semakin terlihat. Mimpi kepada sebuah bangsa dan khalayak luas tiba-tiba muncul gak karuan. Bahkan keseriusan dalam penjalinan sebuah hubungan menguat dan membuat rasa sesal yang tak kunjung hilang atas apa yang terjadi di waktu lalu-lalunya. Maka tibalah film favorit terbaru yaitu The Wind Rises.

The Wind Rises menjadi film Ghibli terfavorit hingga sekarang. Lagi-lagi ini film realitis. Tapi, Hayao Miyazaki berhasil menyisipkan sebuah ‘magic’ yang saya sendiri tidak mengerti harus menceritakannya bagaimana. Seakan magic-nya itu sudah sekelas Spirited Away atau Howl Moving Castle. Magic-nya bekerja bukan kepada mata dan telinga tapi langsung ke hati.

The Wind Rises bercerita tentang masa muda tokoh insinyur yang berhasil mengantarkan Jepang ke menjadi penguasa langit Pasifik pada masanya, yaitu Jiro Horikoshi. Jiro adalah sosok yang penuh ambisi akan desain pesawat sejak kecil. Hidupnya diabadikan sepenuhnya untuk mendesain pesawat terbaik seperti inspiratornya Giovanni Caproni dari Italia sana.

Kalau saya cerita begitu aja kayaknya emang tidak seru ya? tapi di situlah uniknya The Wind Rises. Ceritanya sangat simpel sekali. Tapi semua berubah setelah Jiro kembali berjumpa dengan perempuan kecil yang diselamatkannya pada saat gempa besar terjadi di Jepang. Naoko Satomi, itulah perempuan cinta pertamanya Jiro. Maka setelah beberapa tahun berlalu dan Jiro bisa berjumpa lagi, maka perempuan itu lah yang dianggap Jiro sebagai perempuan yang dibawakan takdir alias ‘My North Star’–karena dari miliaran bintang di langit sana, North Star atau Polaris adalah bintang yang paling bersinar di mata manusia. Ketemunya lagipun tidak sengaja yaitu di lapangan perbukitan hijau di mana Naoko kerap menghabiskan waktu dengan melukis. Sejak itulah cerita hidup sang insinyur yang penuh dedikasi dan hambar menjadi semakin kaya akan warna karena telah bertemu Naoko. Saya pikir tidak perlu saya ceritakan semuanya di sini, biarlah film ini memberikan magicnya sendiri.

Sampai sekarang, saya masih suka termenung sendiri mengingat film The Wind Rises. Pertama karena film ini sangat mengambarkan kehidupan seorang insinyur yang penuh semangat kekaryaan dan walaupun kesannya hambar, tetapi banyak perasaan yang sebenarnya hanya tertahan. Kedua, film ini sangat mengajarkan nilai kehidupan yang serius di masa-masa sulit dunia. Ketiga, banyak dark and sad stories yang melatarbelakangi film ini, mulai dari pembuatan lagu dan pemilihan ceritanya itu sendiri. Terakhir karena setiap mengingat film ini, seakan muncul nostalgia yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Nostalgia tentang bertemu ‘My North Star’ secara tidak diduga-diduga. Nostalgia tentang perjanjian ikatan sang dua insan yang begitu sakral. Nostalgia tentang ambisi yang tak kunjung padam. Nostalgia tentang kehilangan seorang teman, kehilangan keluarga, dan kehilangan pasangan. Nostalgia tentang semangat hidup yang hampir hilang seperti air mata yang menetes ke dalam tanah.

Betul, semua nostalgia itu tidak pernah terjadi. Tapi seakan pernah terjadi. Pokoknya ini film beda banget dari film Ghibli lainnya. .

The Wind Rises': the beauty and controversy of Miyazaki's final film | The  Verge
Naoko and Jiro, The Wind Rises | Studio ghibli, Wind rises, Studio ghibli  movies

Saya sampai jadi bingung mau nulis apa lagi setelah mengingat-ngingat film ini. Mungkin terkesan berlebihan–yang mana saya setuju–tapi di situlah poin magicnya film ini. Kalimat terakhir Naoko kepada suaminya…

“The wind is rising, we must try to live”