Presiden baru kita telah memperkenalkan beberapa program unggulannya, salah satunya proyek Giant Sea Wall di sepanjang utara Pulau Jawa. Terlepas dari bagaimana ini akan berlangsung, tapi satu hal yang pasti, saya pikir kita sebagai masyarakat atau profesional yang nanti akan bekerja di sana harus paham dan bisa melawan narasi ‘Warisan Infrastruktur’ yang sudah mendarah daging di lanskap politik-pembangunan di Indonesia.

Tau itu apa? Jadi alih-alih melihat jalan tol, bandara, atau bendungan sebagai hasil kerja panjang lintas generasi, kita malah menempelkan kesuksesan ke nama-nama tunggal: “warisan Jokowi”, “warisan SBY”, “warisan Soeharto”. Akhirnya, publik pun jadi terlalu disibukkan atas perdebatan “era mana yang paling berjasa?” 

Narasi Warisan Presiden

Sedihnya lagi, narasi ini sering kali secara bebas berkeliaran di media massa ternama. Walaupun, sebagian orang mungkin menyangkal dan melihat ini sebagai sesuatu yang normal di lanskap demokrasi negeri kita, tapi mereka seakan lupa dan menutup mata terhadap fakta bahwa pembangunan infrastruktur itu:

  1. akan selalu dan juga harus bersifat kolektif 
  2. serta butuh proses yang sangat panjang. 

Makanya narasi seperti ini sangatlah toxic! Dan kalau hal ini masih terus ada, maka akan ada banyak aspek dari bangsa ini yang dipertaruhkan dan tulisan ini akan mencoba ngebreakdown itu semua.


Mari mulai dari aspek pola pikir bangsa.

Ketika masyarakat dibombardir dengan narasi bahwa infrastruktur adalah warisan prestasi pribadi seorang pemimpin daerah atau pejabat, maka pola pikir kolektif akan diarahkan untuk selalu mengkultuskan sebuah figur. Mereka jadi percaya kalau ada loh pejabat yang berperan sebagai pengubah nasib secara instan layaknya ‘deus ex machina’. Tinggal terpilih, datang, perintah, bangun, dan maka selesai. Makanya strategi blusukan pejabat ke jalan rusak, lalu besoknya diperbaiki itu sangat mempan untuk menarik hati dan jatah suara masyarakat kita. Walaupun padahal di balik layar, seluruh proses birokrasi dan keuangannya sudah diurus sebelumnya dulu. Maka masyarakat akan berpotensi kehilangan kemampuan untuk adil sejak dalam pikiran, seperti yang saya sudah tulis sebelumnya di sini.

Saat pola pikir bangsa ini sudah gampang dipermainkan dengan strategi di atas, maka rusaklah juga aspek pola pikir para pemimpin daerah. Di saat keberhasilan pekerjaan pejabat itu diukur dari ‘sesuatu yang terlihat terbangun di masa jabatannya’, alhasil mereka akan cenderung berpikir pragmatis. Misalnya, mereka lebih memprioritaskan proyek fisik yang relatif mudah dikerjakan. Sedangkan, untuk infrastruktur yang sulit dan membutuhkan waktu lebih lama, misalnya jaringan transportasi umum dan air bersih, akan cenderung dihindari karena tidak ada manfaatnya buat pribadi elektabilitas mereka.

Sekalipun dipilih pun kemungkinan akan dibuat agar cepat-cepat selesai karena bagi mereka adalah ‘yang penting bisa saya yang meresmikan’ atau bahkan sudah bikin seremoni padahal baru mengumumkan sebuah rencana pembangunan. 

Upacara Pengumuman Rencana MRT Lin Timur-Barat

Belum lagi, akan ada pragmatisme untuk memilih infrastruktur di kawasan populis atau ‘infrastructure hotspot’. Ya tentu supaya gampang terlihat kerja oleh orang-orang. Efeknya? Pertama, terkikisnya niat spiritual para pemimpin untuk menjadi ikhlas dan amanah. Kedua, daerah yang secara kebutuhan mendesak butuh infrastruktur menjadi sering kali diabaikan, hanya karena kurang punya nilai politis. Di sini seakan ada sebuah ego pejabat yang perlu dijawab dengan menciptakan ‘monumen’ dari warisan infrastruktur agar namanya kemudian banyak dikenal. Setelah terkenal, lalu nyalon pemilu lagi, lalu menang lagi, lalu selesai dengan membukakan jalan untuk penerus yang diinginkannya untuk memastikan monumen megah yang sedang dibangunnya tetap dilanjutkan. Dan lingkaran setannya akan terus berlanjut.

Alhasil, konsekuensi pergeseran pola pikir di atas akan menciptakan ketidakadilan antar-generasi. Karena narasi ‘warisan infrastruktur’ seakan memberi pesan bahwa pemimpin harus selalu meninggalkan monumen fisik agar dikenang, akibatnya pembangunan non-fisik lainnya seperti reformasi birokrasi, penguatan hukum, atau perbaikan kualitas pendidikan jarang dipandang sebagai warisan penting. Padahal, justru hal-hal tak kasat mata itu yang lebih menentukan nasib bangsa di masa depan. Gaya membangun seperti ini sifatnya barbaric sekali dan ini mengancam aspek perencanaan dan pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Dulu kita punya seorang tokoh. Beliau adalah yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto saat awal orde baru bahwa Indonesia itu perlu menteri perencanaan pembangunan nasional (sekarang sering dikenal sebagai Bappenas), namanya Widjojo Nitisastro. Ada satu pesan berharga darinya, kurang lebih begini.. “Indonesia itu harus membangun berdasarkan perencanaan nasional agar efektif” makanya dari sana, tim dia buat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang terdiri dari seluruh strategi sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia untuk diarahkan ke transformasi struktural dan bangsa yang berdikari. Ini yang kemudian bertransformasi menjadi rencana pembangunan jangka pendek-menengah-panjang nasional dan juga daerah.

Jadi ibarat kata, pejabat daerah sebenarnya gak perlu banyak ngide lagi. Yang perlu dilakukan adalah menggabungkan visi mereka (secukupnya) ke kajian teknokratis, aspirasi masyarakat, dan hasil analisis data ke dalam rencana nasional yang telah disepakati, dan kemudian melaksanakan rencana tersebut (itulah sebabnya mengapa kementerian dan badan-badan lokal disebut sebagai “eksekutif”).

Propaganda Repelita

Kalau kita ambil contoh pembangunan jalan tol trans-Jawa atau MRT Jakarta. Apakah ini sekadar Presiden Jokowi memerintahkan untuk membangun? Nyatanya, ide dan studinya sudah ada sejak zaman Soeharto. Yang sebenarnya terjadi adalah modal kekuatan ekonomi dan finansialnya itu sedang ditabung dulu sejak pasca reformasi oleh berbagai pemerintahan sebelumnya. Saat negara kemudian sudah lebih mapan dan siap mengutang atau menugaskan tangan-tangan negara, maka barulah bisa dibangun.

Tapi narasi publik memadatkannya seakan lahir tiba-tiba di era tertentu, tanpa mengakui warisan perencanaan yang panjang dan kontribusi banyak orang di periode sebelumnya. Hal ini terjadi ke banyak hal yang lain, yang positif maupun negatif. Coba saja cari tau kronologi drama pulau reklamasi teluk Jakarta, atau cerita pembangunan Jakarta International Stadium, atau siapa yang membawa Formula-E ke Jakarta, dan lain-lain. Kita akan menemukan semuanya tidak terjadi dalam satu zaman, dan tidak pernah terikat ke satu-dua nama orang.

Yang paling saya benci, politisasi infrastruktur melalui pengultusan sosok itu sangat problematis dari aspek keberlanjutan dan membawa kita ke hal kontraproduktif. Lihat saja IKN (Ibu Kota Nusantara). Banyak yang menggiring opini bahwa ini adalah “warisan proyek” Jokowi. Maka saat ada para ahli atau teknokrat dari masyarakat kita yang sangat tulus memberikan kritik dan masukan ke rencana proyeknya, mereka kemudian dianggap sebagai orang yang tidak suka ke pesona Jokowi. Di sisi yang lain, saat pengultusan figur telah ada sebelumnya, maka para pendukung fanatik Jokowi akan banyak yang justru menyerang si kritikus, dan mendukung proyeknya secara tanpa nilai kritis. Sehingga hilanglah sistem terbuka dalam perencanaan infrastruktur yang seharusnya terbangun dari pikiran kritis dan aspirasi jujur. Tentu ini bukan demokrasi yang kita cita-citakan dalam keberlanjutan pembangunan.

Terlepas dari apakah ide awal proyek tersebut baik atau buruk, narasi ini akan selalu berisiko menyebabkan kerugian yang lebih besar. Ketika orientasinya hanya tentang warisan pribadi, infrastruktur pada akhirnya akan menjadi terlalu politis. Sebagai contoh, para petahana cenderung bersikap defensif, percaya bahwa proyek atau warisannya yang mereka anggap sangat bermanfaat itu harus dilindungi dan diselesaikan. Walaupun, sayangnya, harus dengan menghalalkan segala cara (misalnya melanggar hukum tertinggi untuk menyisakan ‘a political champion’ untuk mempertahankan proyeknya) yang tanpa diketahui justru memberikan dampak buruk jauh lebih besar daripada niat bagusnya. Ini yang kemudian disebut sebagai ‘Noble Lies’ dan bagi sebagian orang, ini adalah jenis kebohongan yang paling berbahaya.

Di sisi lain, proyek infrastruktur juga bisa menjadi alat serang janji politik yang membabi buta di saat pesta demokrasi dimulai. Seandainya terjadi penggantian pemimpin, proyek yang dianggap milik lawan politiknya, akan sengaja dibuat mandek atau gagal. Yang rugi siapa? Ya Masyarakat! Infrastrukturnya gak dapet, pajaknya tetap hilang terbuang sia-sia, hanya karena mereka yang di panggung politik saling menaruh rasa dendam.


Di sini saya menyimpulkan, memang proyek-proyek infrastruktur ini mestinya dipahami sebagai proyek peradaban bangsa berkelanjutan, yang mengakar dari semangat gotong royong dan rencana suci dari kotornya politik jangka pendek. Walaupun sayangnya ‘ada dan hilangnya’ rencana infrastruktur itu ternyata semudah membalikan telapak tangan. Semua karena konsep ‘Warisan Infrastruktur’ yang toxic ini. Jadi, pertanyaan sebenarnya sekarang bukanlah apakah kita bisa belajar dari masa lalu, tapi apakah kita berani mematahkan narasi ini untuk selanjutnya dan selamanya.