Lucu sekali saat sejak kecil kita sering diajarkan tentang gotong royong, tapi saat suatu infrastruktur terbangun dengan sukses, itu dianggap sebagai warisan/legacy dan prestasi satu-dua tokoh saja.

Pernahkah kita menyadari secara adil kalau seluruh fasilitas yang kita temui di kota ataupun desa adalah buah dari puluhan bahkan ratusan individu yang layak untuk juga mendapatkan apresiasi lebih?

Ada baiknya memang kita menghayati lebih lanjut tentang satu konsep yang penting dalam pembangunan infrastruktur, yaitu stakeholder complexity. Konsep ini menjelaskan bahwa pembangunan itu bukan hasil dari proses linear—melainkan jaringan tarik-menarik dari banyak pihak, semua dengan ego dan agenda masing-masing. Kompleksitas ini biasanya melekat pada mega proyek bernilai triliunan. Tapi itu standar proyek di luar negeri, kalau di Indonesia? Proyek kecil pun bisa ruwet. Ada yang mendukung babi buta, ada yang mengkritik dengan niat baik, ada juga yang selalu protes karena ignoransi.

Tapi kompleksitas pembangunan bukan cuma soal tarik-menarik di level atas. Di lapangan, ada lebih banyak pihak dan proses yang tak terlihat. Kita harus paham bahwa sebuah infrastruktur berhasil terbangun dari bagaimana dokumen administrasi dikoordinasikan, hitungan perencanaan dilakukan, coretan desain dituangkan, tiap rupiah diinvestasikan, bahkan state of artnya para pekerja untuk adukan beton, acian dinding, baut tiap sambungan, dan pekerjaan ‘remeh’ lainnya.

Tapi bahkan dari semua itu, satu kelompok sering terlupakan: warga. Padahal mereka yang membiayai proyek lewat pajak, yang seringkali ikhlas karena tidak dilibatkan dalam perencanaan, dan yang sabar dengan kebisingan, kemacetan, dan dampak lainnya. Juga mereka yang ikhlas untuk menjual tanah/bangunannya untuk kepentingan proyek.

Wah, mereka semua benar-benar ‘the invisible hands’ dan pernah gak mereka diapresiasi?

Okey, lets say kita tetap harus berpikir realistis, apa iya kita harus mereka semua untuk ikut tumpengan dan tanda tangan for the sake of appreciation dan collective legacy? Ya harusnya sih iya, sekalipun itu sulit. Tapi kalau itu benar-benar gak realistis, paling enggak kita bisa mulai dari cara kita bercerita dalam membentuk narasi pembangunan.

Pasti mayoritas dari kita sadar, narasi warisan pembangunan terlalu lama berpusat pada siapa yang meresmikan dan potong pita. Lihat saja berita TV, koran, dan postingan media sosial. Cara berpikir ini masih melekat di masyarakat dan masih terus ada turun-temurun hingga sekarang. Dampaknya bukan hanya kita jadi tidak adil dalam mengapresiasi, tapi seringkali juga jadi sumber masalah atas siklus politik yang dampak buruknya jadi kemana-mana.

Saat menulis ini pun gw langsung kepikiran, mungkin pembentukan narasi pembangunan ini bisa disalurkan dengan mengganti template prasasti peresmian yang seringkali cuman tanda tangan pejabat menjadi ‘prasasti’ yang bisa bercerita. Prasastinya memuat kisah singkat tentang bagaimana proyek ini bisa jadi—siapa saja yang terlibat, tantangan yang dihadapi, nilai yang diperjuangkan. Atau bahkan QR code kecil di pinggir prasasti yang ketika dipindai membuka video dokumenter singkat: wawancara dengan tukang, warga sekitar, atau staf teknis proyek. Cerita itu bisa lebih membumi dibanding deretan nama pejabat, perusahaan dan angka anggaran.

Cerita-cerita semacam ini pun bisa jadi sarana edukasi sipil. Anak sekolah yang mampir ke infrastruktur tersebut jadi bisa punya pemahaman yang ‘upgraded’, dari yang biasanya “ini diresmikan kapan dan oleh pejabat siapa”, tapi juga “bagaimana dibangunnya dan oleh siapa saja”. Ada nilai humble transparency yang tumbuh dari situ. Mereka jadi paham bahwa bangun infrastruktur itu memang butuh beton, tapi untuk membangun rasa dan pemahaman itu perlu butuh modal sosial.

Jadi, kalau infrastruktur nyatanya sukses karena dibangun secara gotong royong, kenapa ceritanya harus sempit? Saatnya kita berpikir ulang tentang whose legacy is this, dan memberi ruang apresiasi lebih bagi semua orang yang telah berjuang, tapi selama ini tak disebut.

~~

Tulisan ini dibuat sebagai hasil refleksi atas kesuksesan pembuatan sistem QRIS, serta reformasi dan rekonstruksi infrastruktur transportasi umum di Jabodetabek. Tulisan ini dibuat sebagai pandangan pribadi dan tidak merepresentasikan tempat bekerja penulis.