Satu kemampuan yang jarang dibicarakan namun sangat penting adalah kemampuan untuk menyelamatkan diri ke luar negeri. Dalam istilah yang lebih menyedihkan, ini berarti menjadi pengungsi atau imigran. Tapi mengapa kita perlu belajar hal seperti ini? Kemampuan ini sebenarnya perlu dipahami seperti halnya kemampuan bela diri. Kita belajar bukan karena berharap tempat tinggal kita akan hancur, tetapi sebagai langkah antisipasi jika hal tersebut benar-benar terjadi.
Ini lah yang saya ‘baca’ dari tinggal di Inggris selama hampir setahun. Saya melihat banyak sekali imigran dari berbagai belahan dunia, terutama dari negara-negara yang hancur akibat penjajahan, pergolakan geopolitik, dan termasuk konflik internal negerinya itu sendiri. Anak-anak muda di sana banyak yang terlihat bukan seperti orang Inggris, padahal aslinya Warga Negara Inggris asli karena memang lahirnya di sana. Walaupun ketika diajak ngobrol, mereka tetap ingat dari mana keturunan mereka berasal—ini lah yang saya pahami sebagai identitas Bangsa.
Saat itu, muncul pertanyaan di benak saya: Apakah cinta tanah air harus diukur melalui kewarganegaraan yang sama? Atau cukup dengan kesamaan bangsa? Atau harus tinggal di tempat yang sama? Atau mungkin tidak harus ditandai dengan ketiganya? Saya belum menemukan jawabannya, karena selalu ada contoh kasus yang dapat membenarkan semua opsi tersebut.
Satu hal yang pasti adalah adanya ajaran tentang ‘siapa yang harus diprioritaskan untuk diselamatkan dalam kondisi krisis.’ Jawabannya adalah: diri sendiri, keluarga, orang terdekat, dan seterusnya hingga skala yang lebih besar, mungkin akhirnya termasuk negara. Ajaran ini hanya masuk akal jika kita memahami tujuan hidup kita di dunia. Kenapa diri sendiri menjadi prioritas? Karena secara prinsip, kita adalah karakter utama dalam kehidupan kita sendiri. Dengan kata lain, satu-satunya yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan kita di Hari Pengadilan nanti adalah diri kita sendiri.
Saya jadi teringat sebuah kisah tentang Malaikat yang bertanya kepada manusia yang wafat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (tidak beribadah dengan baik). Manusia itu menjawab bahwa ia adalah orang yang tertindas di tempat tinggalnya, sehingga sulit untuk beribadah. Mendengar jawaban tersebut, Malaikat malah bertanya, “Bukankah bumi Tuhan itu luas, sehingga kamu bisa mengungsi ke tempat lain?” Ketika pertama kali mendengar cerita ini, saya meresponnya biasa saja. Namun, setelah merenung selama di Inggris, saya tersadar bahwa meninggalkan tempat asal—sebesar apapun cinta kita terhadapnya—demi keselamatan diri dan keluarga adalah sebuah anjuran.
Ya, merantau ke luar negeri adalah anjuran, tetapi tidak boleh berhenti di sekadar pindah. Bagi mereka yang ingin memiliki tujuan hidup lebih dari sekadar menyelamatkan diri, tetapi juga menyelamatkan banyak orang, merantau harus dipahami sebagai sesuatu yang sementara. Mereka bisa mempersiapkan dan menjalankan strategi untuk memperbaiki keadaan tanah air dari kejauhan, sambil tetap menyelamatkan prioritas utama mereka. Atau mereka bisa kembali saat kondisi sudah membaik dan berkomitmen untuk membuatnya lebih baik lagi. Lihat saja perjalanan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan kita sejak era penjajahan awal, di mana banyak dari mereka harus berpindah-pindah sambil mengkonsolidasikan kekuatan. Atau pahlawan modern yang tersebar di berbagai negara, mengumpulkan dukungan dan pengakuan internasional.
Maka di momen-momen Indonesia saat ini* yang menyayat hati dan akal sehat, saya sangat mendukung teman-teman yang berencana pindah ke luar negeri, bahkan jika itu berarti mengganti kewarganegaraan. Namun, saya hanya ingin berpesan termasuk kepada diri sendiri: jangan pernah lupakan tanah air yang membesarkanmu, tempat yang pernah kau banggakan, negeri bernama Indonesia.
—
*21 Agustus ditandai sebagai momen pergolakan demokrasi Indonesia, info lebih lanjut: Viral Peringatan Darurat Garuda Biru Banjiri Medsos, Ini Maknanya (cnbcindonesia.com)
Andro
🔥🔥🔥🔥🔥