Akhirnya, hujan yang dirindukan mulai turun tanpa malu. Justru kini matahari yang mengumpat di balik langit abu. Aku duduk berdua dengan kak Lulu, kepala sekolah Skhole dua tahun lalu. Di restoran terbuka seperti ini, jejeran bukit Dago terlihat sangat rapi. Tujuan kami di sini tentunya bukan hanya untuk berduaan, tapi kami sedang menunggu teman persaudaraan.

~~

Beasiswa Aktivis Nusantara atau disingkat Bakti Nusa merupakan beasiswa pembinaan bagi mahasiswa ‘aktivis’ di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Tujuan keberadaannya sesimpel untuk membentuk sosok pemimpin yang berintegritas, cendikia, transformatif, dan melayani masyarakat. Ya atau dalam kata lainnya meneladani 4 sifat Rasullullah; Amanah, Fathanah, Shidiq, dan Tabligh. Tahun ini, satu angkatan Bandung hanya bertujuh orang. Sedangkan satu angkatan se-Indonesia bertotal enam puluh empat orang. Menjadi bagian dari beasiswa seperti ini bukanlah perkara mudah. Bagaimana tidak, saat mendaftarkan diri saja, si calon sudah harus melabelkan diri sendiri sebagai ‘aktivis’. Lah memang mahasiswa aktivis tuh mahasiswa yang seperti apa? tak paham aku. Lalu, terlebih saat kami semua senasional dikumpulkan pertama kali dalam suatu ruangan. Atmosfernya beda sekali. Seakan-akan aku sedang berdiri di tengah Soekarno-Soekarno dan Kartini-Kartini di generasi milenial. Bercanda berlebihan seakan menjadi hal tabu. Semua serius. Semua saling menjual keunggulannya agar mendapat teman mengobrol. Aku memperhatikan bagaimana orang-orang di sini berkenalan. Pertanyaan defaultnya adalah nama kamu siapa, dari kampus mana, megang jabatan apa. Semakin hebat jabatannya tentunya semakin banyak yang mengajak ngobrol. Mengobrol tentang aksi dan nasib negara.

Bakti Nusa 8

Kembali lagi ke aku dan kak Lulu. Setengah jam, sejam, hingga satu setengah jam menunggu kemudian kami semua komplit. Kami adalah tujuh penerima manfaat Bakti Nusa Bandung Angkatan 8. Plus satu orang pembina kami. Minimal tiap bulan kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu, bersilaturahmi, berdiskusi tentang topik yang memang sudah disepakati. Sebagai aktivis tentu seharusnya kami akan memilih topik tentang kinerja pemerintah, kondisi kampus, cara menjadi presiden, dan hal hal besar lainnya. Eh tapi tidak, kami selalu memilih untuk sedikit berbeda. Entah bagaimana, porsi kami membicarakan tentang kehidupan manusia beriman seutuhnya itu lebih besar daripada membicarakan hal seperti yang disebutkan sebelumnya. Katakanlah, kami lebih rajin berdiskusi tentang pondasi iman, ihsan, akhlak, rencana hidup, pernikahan, keluarga, kebermanfaatan yang istiqomah, dan hal lainnya yang insyaAllah bermanfaat. Kami terus sama-sama belajar tanpa menutup telinga. Terus sama-sama memperhatikan tanpa menutup hati. Tak pernah bosan menyimpul tali keakraban, sembari mengingat hadits riwayat Tirmidzi, “Di sekitar Arsy-Nya ada menara-menara dari cahaya, di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya, wajah-wajah mereka pun bercahaya. Mereka bukan para nabi dan syuhada, hingga para nabi dan syuhada pun iri kepada mereka.” Ketika para sahabat bertanya, Rasulullah menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling berkunjung karena Allah.”

Betapa indahnya nikmat yang Allah berikan kepada kami melalui persaudaraan. Apalagi persaudaraan sesama aktivis. Sayang sekali jikalau itu hanya dijadikan sebagai tempat saling menunjukkan ketajaman pemikiran.

Baktinusa 8 Bandung

Kita saudara sesama aktivis sudah seharusnya saling menasehati kebajikan dalam kehidupan sehari-sehari, karena bercerita masalah ke saudara yang baik pasti akan mendapat nasihat yang baik pula. Kita saudara sesama aktivis seharusnya saling menguatkan dalam menggapai mimpi-mimpi perkuliahan dan kelulusan, karena aktivis sudah terbukti jago menularkan aura membara ke orang lain. Kita saudara sesama aktivis seharusnya bisa saling bertukar jaringan kebermanfaatan, karena tentu tiap dari aktivis punya banyak teman yang siap berkolaborasi.

Bayangkan, 40 sampai 50 tahun kedepan, kita saudara sesama aktivis akan bertemu kembali dengan peran masing-masing. Masih dengan senyum yang sama. Masih dengan semangat yang sama. Saling merasa erat dan hangat.

Sebab…

Saudara sesama aktivis. Bukanlah saudara yang tak henti membicarakan organisasi dan pergerakan mahasiswa. Bukan juga saudara yang selalu meninggikan ego masing-masing di setiap pertemuan. Jenis saudara ini tak memiliki hubungan darah tapi seakan nadi mereka berdenyut seirama. Saudara seperti inilah yang biasanya akan paling banyak mengingatkan kita akan keburukan yang tumbuh akibat ambisi berlebihan. Saudara sesama aktivis adalah saudara yang hakiki.