Tiga bulan lalu saya kecewa berat. Dream Worldwide hadir di Jakarta. Itu semacam acara latihan memahami Quran tiap malam selama berminggu-minggu. Tujuannya agar saat baca Quran, kita jadi dapat bayangan terkait makna lapisan terluarnya. Targetnya untuk siapapun yang ingin mengenal lebih dekat dengan Quran, mau dia non-muslim sekalipun. Gurunya sangat spesial, yaitu Allah dan hambanya yang bernama Nouman Ali Khan–ulama dari Amerika sana.

Terus kenapa jadi kecewa?
Karena harga tiketnya 1 juta. Dan sayangnya, saat itu saya masih tidak percaya diri mengeluarkan uang, alias harus berpikir panjang, alias bokek tidak punya uang!

Sekarang, Nouman Ali Khan (NAK) hadir lagi, tapi dengan mata acara yang berbeda. Dia ingin bercerita tentang sebuah kisah penuh hikmah dari kitab yang penuh makna. Masih dengan target dan harga yang serupa, acara tersebut bernama Story Night.

Untungnya, kali ini saya tidak perlu mikir dua kali. Langsung pesan tiket dari link yang sebenarnya pun sedikit tidak jelas. Wajar, karena ternyata itu adalah link pendaftaran yang seharusnya disebar resmi beberapa jam kemudian, eh tapi bocor. Alhasil, tiket acaranya ludes terjual padahal publikasi yang resmi baru saja muncul.

Pasca acara saya tidak berhenti tersenyum puas. Cerita dan acaranya luar biasa, sesuai ekspetasi, bahkan melampauinya. NAK berhasil menjaga mata saya tidak terlelap ngantuk padahal kondisi ruangannya sangat ideal untuk tidur cantik. Saya pun jadi tidak sabar untuk menuliskan ulang cerita yang disampaikan Quran lewat NAK. Namun sebelum masuk ke sana , ada hal lain yang mau saya beberkan terlebih dahulu, yaitu tentang orang-orang yang di hadir di acara itu.

~~

Whisper Night kali ini diadakan di Balai Kartini Jakarta. Sejak di parkiran saya sudah terheran-heran, mobilnya kok mewah-mewah sekali. Tidak lama setelah saya masuk ke gedungnya, saya bertemu beribu-ribu wajah yang langsung membuat pikiran terlintas ‘wow, begini ya orang-orang kaya muslim’. Mereka berias rapih sederhana tapi tidak sembarangan, berbusana mewah menawan tapi tidak berlebihan.

Di antara ribuan orang yang ada, saya langsung peka kepada satu pria yang berdiri sendiri dan sibuk dengan telepon genggam di telinganya. Wajah dia sudah menjadi sangat familiar. Pria itu adalah Salman Subakat, CEO dari PT Paragon Technology & Innovation. Sebenarnya saya kagum sekali dengannya, orang tajir sekelas dia kok masih bisa jalan sendirian kesana-kemari. Hadir di antara kerumunan seakan dia bukan siapa-siapa. Saat masuk ke ruangan utama pun dia duduk di pojokan mezzanine. Terlihat tidak ada yang mengawali pula. Lalu saya menerka-nerka alasannya kenapa, ”ah mungkin karena dia sering sholat berjamaah di Masjid Salman ITB”.

Tidak berselang lama, saya melihat bapak Gubernur kampoeng Jakarta. Berjalan hanya berdua dengan istrinya, menyodorkan tangan sebagai tanda permisi ke orang-orang yang sudah duduk. Bapak Gubernur pun melakukan hal serupa, memilih duduk di bagian pojok samping. Orang-orang pun tidak heboh atau bertingkah lebay atas kehadirannya, mereka sudah fokus dengan siapa yang berdiri di atas panggung. Pak Gubernur pun segera ikut fokus ke panggung dengan senyum khasnya.

Biasanya orang-orang datang bersama satu keluarga. Orang tua mengajak anak dan cucunya–seakan tidak peduli dengan harga tiket. Seminimalnya mereka datang dengan pasangan atau teman. Sedangkan saya datang ke acara sendirian. Tapi untung tiba-tiba datang ka Fadil–kakak tingkat di ITB. Otomatis akhirnya dia jadi duduk di sebelah kiri saya. Syukurlah, jadi seimbang karena sebelah kanan saya adalah perempuan. Yang seharusnya biasa saja, tapi sedikit jadi aneh karena rambut dia tergerai lebat, betisnya tampil bebas, dan ada tas berkelas di pangkuannya. Lah ini acara apa, kok bisa ada peserta yang seperti ini. Ahh kok kamu masih bingung yed, jelas-jelas ini acaranya Nouman Ali Khan. Pembawaan NAK memang mirip ustad di Indonesia yang akhir-akhir ini terkenal. Dia dulunya sosok yang minim keimanan. Tapi lalu merasakan nikmat yang luar biasa saat melaksanakan sholat untuk ‘pertama kali’ lagi setelah diajak seorang teman muslim yang menerima dia apa adanya. Tentu NAK kini paham, di luar sana banyak yang sebenarnya percaya akan campur tangan Tuhan di segala lini kehidupan, tapi mereka selalu merasa serba salah saat ingin mencari kebenaran. Label-label buruk yang diberikan kepada orang semacam itu justru memperburuk proses pencariannya. Itulah mengapa di akhir acara, justru NAK meminta tolong ke peserta untuk tidak segan mengajak teman-teman yang non-muslim, atau yang muslim tapi masih kurang yakin, atau yang benci banget Islam, atau yang lain-lain. Selama di dalam hati orang ada keinginan mencari kebenaran, Quran akan menjadi sumber jawabannya. Ceunah.

Di deretan depan saya juga ada yang tak kalah menarik. Seorang kakek tua dengan rambut putih di sekujur kepalanya. Selama acara dia terus mencatat dengan pensil di lembaran kertas seadanya. Sesekali melihat kedepan dan mengangguk-ngangguk. Saya perhatikan, dia sepertinya bukan orang sembarangan. Untuk seumuran dia, sepertinya paham bahasa inggris adalah hal langka, ya kan? Setelah selesai acara, kakek ini berjalan ke arah panggung. Ternyata dia bersama kedua anaknya. Lagi-lagi mereka berpenampilan seperti kaum intelek.

NAK Secara Dekat

Jadi NAK memang menyempatkan untuk duduk di ujung panggung dan menyapa teman-teman yang ingin bertanya setelah acara selesai. Saya sebagai orang yang bisa dibilang ‘ngefans’ dengan NAK tentu ini kesempatan menarik. Di akhir acara, saya langsung ingin turun dari mezzanine, ingin berfoto wefie ria. Siapa cepat dia dapat, bahkan kalau perlu harus naik panggung, dempet-dempetan tidak apa! Kapan lagi kan foto bersama artis uhuyyy.

… oh ternyata saya berhasil dibuat kagum lagi. Orang-orang tidak melakukan apa yang saya bayangkan. Mereka secara rapih, perlahan, dan menjaga jarak saat menghampiri NAK. Tidak ada yang selfie-selfie semacamnya. Semua seperti murni ingin bertanya. Melihatnya secara langsung di jarak yang hanya beberapa meter pun memaksa diri sendiri untuk bersikap hormat. Patut diakui, walaupun dia tokoh terkenal sedunia namun auranya berbeda dari artis biasanya.

Lalu dari sekian banyak hikmah dan syukur yang ada, saya sebenarnya cukup geregetan dengan diri sendiri. Di sana itu ada tokoh di balik pembuatan animasi Nussa. Tapi saya tidak mengajak ngobrol dia, padahal jelas-jelas itu sumber konten gofor.id hahaha. Tapi sekilas saya lihat, dia termasuk orang yang bergaul dengan komunitas Bayyinah Indonesia. Komunitas itu lah yang membawa NAK ke Indonesia dan bekerjasama dengan beberapa volunteer untuk berbagi inspirasi ke anak cucu Adam. Rasa-rasanya lingkaran komunitas itu juga yang suka aktif di komunitas pengajian di daerah elite kampoeng Jakarta. Juga di lingkaran yang kini sangat ngetren; lingkaran artis hijrah.

Tapi akhirnya foto-foto juga sebagai kenangan (de Fayed – ka Fadil – ka Adel)

~~

Setelah semua selesai, saya menjadi tau kenapa di parkiran luar terisi penuh dengan mobil-mobil mewah. Karena memang, menjadi kaya tidak selalu menghalangi manusia menjadi muslim. Dan karena memang, menjadi muslim tidak menghalangi manusia menjadi kaya.