Kolot. Kata dengan akhiran yang selalu identik dengan keburukan. Lihat saja; bolot, nyolot, comot, dan jenglot. Kata ini biasa dilemparkan kepada orang-orang tua. Padahal yang menerimanya hampir tidak pernah menyadari bahwa mereka kolot. Yang mencap pun seakan tidak memikirkannya dua kali. Terutama mengenai; Apakah dirinya juga akan menjadi orang tua kolot di masa depan?

Tunggu, sebenarnya kolot itu apa? Secara bahasa ternyata kolot itu berarti tua. Tapi kita semua tahu bagaimana masyarakat Indonesia akhirnya memelintir penggunaannya lebih ke arah yang merendahkan, yaitu tidak berpikir kekinian.

Tidak jarang di waktu-waktu seperti ini, kata kolot berlalu lalang di telinga. Cerita datang dari teman-teman dengan berbagai versi. Mereka menggerutu. Mereka geregetan. Mereka kurang suka orang tuanya menjadi kolot. Contohnya :

Ada orang tua yang selalu maksa anaknya untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dibilang kolot.

Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk kuliah, padahal sudah lebih tertarik fokus berbisnis. Dibilang kolot.

Ada orang tua yang ga setuju anaknya kerja di start up atau bidang computer science. Dibilang kolot.

Ada orang tua yang menyuruh anaknya segera menikah. Dibilang kolot. Ada orang tua yang menyuruh anaknya menikah nanti aja. Dibilang kolot juga.

Diberi pesan jangan main hp mulu : kolot.
Diberi pesan jangan pulang malam-malam : kolot.
Diberi pesan hati-hati dalam bergaul : kolot.

Banyak sekali lah contoh ceritanya. Kalian juga pasti pernah dengar dan punya versinya sendiri.

Walaupun sebenarnya ada yang menarik. Jadi salah satu kolegaku di Bandung berpesan. Kata dia, segeralah pahami latar belakang orang tua dan coba pikirkan apa yang menjadikannya mereka demikian. Pada akhirnya, mereka melakukan segalanya buat kebaikan kita juga. Hahaha, lanjut ketawa dia setelah ngomong itu. Dia memang baru sadar gitu bahwa dirinya memang sangat disayang. Jadi menurutnya, sangat tidak etis kalau kita masih punya pikiran aneh apa lagi sampai merendahkan orang tua dengan cap kolot.

Aku juga pernah tetiba membayangkan, bagaimana rasanya jika anak sendiri kelak mencap diriku sebagai ayah kolot. Sakit hati? Kayaknya bakal iya, tapi mungkin akan lebih ke kaget. Gimana tidak? Kita yang di masa mudanya selalu menganggap diri kekinian dan ngecap orang kolot sekarang malah berujung kebalikanya.

Mungkin memang begitulah hidup orang biasa. Selalu merasa telah bergerak sesuai zaman, tapi ternyata itu hanyalah bualan tersembunyi.

Atau jangan-jangan ini tidak ada kaitannya dengan waktu. Melainkan, pencapan kolot hadir sebagai output dari kita yang tak pandai berkomunikasi. Juga yang tak suka terima perbedaan pendapat. Karena dibalik nasihat pasti ada alasan, dibalik permintaan pasti ada kebutuhan. Kalau kita dari awal memang tidak menjalin obrolan dengan orang tua sendiri dan selama ini hanya mendengar terus celotehan mereka, tentu kita akan merasa jengkel. Dan ujungnya kita pasti akan ngecap mereka sebagai kolot saat sekalinya terjadi perbedaan pendapat.

Seperti yang teman saya bilang, daripada kita langsung mencap ada kalanya kita mencari tahu pemikiran di baliknya apa. Orang tua itu memang tidak selamanya baik dan benar. Tapi mereka lah manusia yang telah melalui hidup berpuluh-puluh tahun. Tidak mungkin pengalaman hidupnya absen dari pengalaman berharga yang bisa menimbulkan nasihat emas.

Aku yakin sekali, mereka pasti punya banyak nasihat emas itu. Tinggal sekarang, kita mau membantu mereka menjelaskannya dengan baik atau memilih menolaknya mental-mental sejak awal.