Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan berita tentang munculnya beasiswa patungan baru. Apakah ini kabar buruk bagi saya? Yang kebetulan baru saja mengembangkan Beasiswa Luar Biasa–beasiswa patungan dari alumni muda ITB untuk mahasiswa ITB. Atau justru ini kabar baik?

Saya mungkin punya jawabannya. Namun yang pasti, jawaban saya sangat dipengaruhi oleh sejarah Dompet Dhuafa.

~~

Mungkin masih banyak yang belum tau, bagaimana kisah Dompet Dhuafa awalnya dibangun sebelum akhirnya menjadi lembaga amil zakat yang bisa mengumpulkan dana 300 miliar tiap tahun. Saya pun baru tau kisah itu empat tahun lalu, setelah Pak Erie Sudewo sebagai salah satu pendirinya bercerita.

Jadi semua bermula dari sebuah ajakan untuk menyisihkan sedikit penghasilan melalui kolom kecil di koran Republika pada tahun 1993 silam. Antusias masyarakat yang tidak disangka berujung ke sebuah wacana untuk dibentuknya lembaga yang benar-benar mengurusi ajakan kebaikan bersama ini.

Maka pada 14 September 1994, persis tiga tahun sebelum saya lahir, Yayasan Dompet Dhuafa resmi dibentuk oleh empat tokoh yang salah satunya adalah Pak Erie Sudewo. Perlahan tapi pasti, kebermanfaatan terus menyebar. Kepercayaan publik pun ikut berkembang. Hingga kini Dompet Dhuafa terus eksis dengan pilar inti pemberdayaan seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan dakwah.

Namun ada satu hal menarik dari perjalanan mereka. Itu juga yang kini selalu saya ingat, yaitu bagaimana Dompet Dhuafa menyikapi efek samping yang terjadi di selama keberjalanannya.

Singkat cerita, kesuksesan Dompet Dhuafa memicu lembaga amil zakat lain bermunculan. Banyak orang yang meniru dan menduplikasi apa yang telah dikembangkan Dompet Dhuafa selama ini. Mulai dari yang tingkat daerah hingga yang tingkat nasional. Lalu apa respon orang dalam Dompet Dhuafa? Apakah gundah dan merasa tersaingi karena pasarnya jadi terebut? Tidak! Ternyata mereka menjadi sangat senang. Kenapa? karena memang salah satu nilai yang selama ini diperjuangkan adalah kebaikan yang dilakukan bersama. Maka jika semakin banyak lembaga serupa terbentuk, maka semakin luas pula kebermanfaatan yang disebarkan.

Pola pikir sederhana itulah yang kemudian menginspirasi Faris dan Saya untuk mau mengembangkan sebuah beasiswa dengan tambahan tujuan yang berbeda. Tidak hanya mengumpulkan uang lalu memberikannya ke yang membutuhkan, tetapi juga dengan membentuk sebuah tren dan pandangan baru tentang membuat beasiswa itu sendiri. Kami menebar keyakinan bahwa siapapun, bahkan untuk mahasiswa yang baru lulus sekalipun, dapat membuat beasiswanya sendiri asal memiliki ketekunan dan kemauan yang kuat. Tidak perlu menunggu punya perusahaan atau yayasan atau uang yang banyak dulu, sebab semua bisa dilakukan dengan bergotong royong.

Konsep Beasiswa Luar Biasa yang sejak 2017 dibentuk oleh kakak tingkat kami, mulai gencar kami ‘jual’ dan promosikan agar dapat diduplikasi oleh orang lain. Guidebook BLB: Cara Membuat Beasiswa Patungan pun disusun dan disebarluaskan.

Orang-orang baik dari berbagai penjuru mulai tertarik dan bertanya-tanya ke kami. Sebagian benar-benar langsung lanjut mengeksekusi di lingkungannya masing-masing. Di kampus ITB sendiri, beasiswa yang sebelumnya tidak ada kini menjadi ada, beasiswa yang sudah ada jadi semakin berbenah tak mau kalah.

Maka bisa disimpulkan, semua ini adalah kabar baik. Bahkan juga sebuah tanda keberhasilan, bagi mereka yang memegang pola pikir seperti pendiri Dompet Dhuafa.

Hey! Saya jadi punya quote baru gegara tulisan ini ”Saat kita tidak bisa melakukan semua kebaikan, setidaknya buatlah agar orang lain yang melakukannya.”