Setelah dua tahun lulus kuliah, ada satu penyesalan yang masih menganggu sampai sekarang. Padahal klise, tapi kalau diingat-ingat, cukup sebagai modal mencela diri sendiri. Mungkin ini jadi penyesalan juga bagi sebagian orang. Yaitu bagaimana kurang menghargai dan ‘memanfaatkan’ keberadaan dosen-dosen di kampus selama menjadi mahasiswa. Sayangnya, saya baru sadar semua dosen di kuliah—khususnya teknik Kelautan ITB—adalah sosok-sosok yang luar biasa. Walaupun bisa dibilang saya sudah pernah mencicipi semua dosen, mulai dari masuk kelasnya, merasakan ujiannya, melihat auranya, dan mendapatkan omelan bahkan pujiannya. Tapi akhirnya tetap saja tidak berusaha lebih untuk memanfaatkan kesempatan sebagai mahasiswa yang bisa banyak belajar dan berkontribusi dengan dosen sendiri.

Namun di balik penyesalan masa perkuliahan saat itu, setidaknya ada satu cerita menarik yang terukir. Yaitu tentang bagaimana saya bisa meninggalkan kampus ini dengan sebuah sesuatu yang berguna bagi orang lain kedepannya.

~~

Waktu awal memasuki tahun terakhir perkuliahan, saya memutuskan untuk bisa lulus di periode yang paling cepat. Bukan karena sudah tidak betah kuliah, tapi karena tetiba harus berpacu dengan waktu. Ya pokoknya harus lulus cepat. Satu-satunya yang membatasi kelulusan hanyalah skripsi alias tugas akhir.

Tekadnya sudah sangat kuat, maka tinggal diatur bagaimana strateginya. Pertama, ingin menjadikan tugas akhir sebagai apa? Apakah cukup untuk sekedar batu loncatatan lulus atau ingin mendalami di bidang sesuatu yang belum dikuasai? Kedua, siapa dosen pembimbing yang bisa mendukung pertanyaan pertama?

Singkat cerita, diputuskan untuk menjadikan tugas akhir juga sebagai bahan untuk mendalami bidang yang belum saya kuasai. Diajukanlah permintaan bimbingan ke dosen yang ahli di bidang itu. Oops, ternyata saya ditolak. Pasrah, mungkin memang histori performa saya di kelasnya masih kurang baik.

Tidak mau ambil pusing, akhirnya saya putuskan untuk menjadikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan saja. Apalagi saat ada desas-desus, bahwa dosen muda favorit orang-orang—yang juga dosen wali saya—sudah  berkesempatan untuk membimbing mahasiswa mengerjakan tugas akhir. Segeralah dihubungi via pesan online sebelum meminta izin bertamu ke ruangannya. Paralel, saya klarifikasi desas-desusnya, oh ternyata valid. Lalu saya ceritakan niatan untuk menjadikan beliau sebagai dosen pembimbing. Hmm kaget, ternyata ditolak lagi. Alasannya simpel, beliau baru saja dapat izin membimbing, jadi belum bisa menjamin penyediaan data apa-apa sebagai bahan tugas akhir. Ya memang praktiknya di jurusan saya, dosbing kerap membantu menyediakan data sebelum diolah oleh mahasiswa dalam proses desain. Kalau mahasiswanya diminta melakukan pengukuran data langsung ke lapangan, pasti biaya dan waktu yang keluar tidak akan sedikit.

Membaca pesan penolakan itu, sontak jadi sedikit memohon, “Saya akan cari data sendiri Pak, dari awal saya memang berniat menggunakan data sekunder untuk desainnya.” Dalam hati, sebenarnya bingung juga bagaimana cara nyari datanya sendiri.

Akhirnya beliau setuju. Beliau mau terima saya sebagai mahasiswa bimbingan pertamanya. Pintu ruanganannya pun semakin terbuka untuk bertamu dan berdiskusi.

Langsung, saya ambil kesempatan itu untuk menghadap. Setelah mengobrol ini-itu, barulah masuk ke bahasan terpenting. Sebenarnya bagaimana cara saya bisa mencari data sendiri? Beliau langsung memperkenalkan potensi sumber data di internet yang bisa dicoba. Terkesan memudahkan sekali bukan? Oh belum tentu! Berhubung sumber datanya yang dimaksud termasuk benar-benar baru, beliau pun masih belum tau detailnya. Jadi dalam kesempatan tugas akhir ini, saya yang diminta untuk mencari tau lebih lanjut—mulai dari cara mengambilnya, mengolahnya, memodelkannya, dan memvisualkannya.

Alih-alih tugas akhirnya jadi mudah dan cepat, eh malah jadi ditantang banyak hal. Tapi hey! sekarang saya tersadar bahwa itu layak untuk di-alhamdulillah-kan.

Satu bulan pertama, progres tugas akhir bisa dibilang bagus sekali. Tantangan-tantangannya mulai berhasil terjawab, dosbing saya pun jadi ikutan semangat. Beliau jadi lanjut merekomendasikan banyak basis data lainnya. Dalam hati saya berpikir, wah apa data yang saya gunakan ini benar-benar baru? Kalau iya, saya terpikirkan bikin sesuatu selain dari tugas akhirnya itu sendiri. Setidaknya catatan langkah demi langkah bagaimana saya melakukan ini semua, karena pasti akan banyak adik tingkat yang bisa terinspirasi dari sini.

Semester akhir tiba juga, tugas akhir saya sudah berprogres setengah jalan, di saat teman yang lain rata-rata baru mulai. Kelas kuliah sudah semakin sedikit. Waktu luang jadi banyak tidak karuan. Godaan untuk melakukan hal lain di luar kelas semakin menjadi-jadi. Saya pun tidak bisa menahan diri. Yasudah, akhirnya semester akhir malah jadi momen ikut lomba, seminar, dan berkeliaran kesana-kemari. Dosbing saya mungkin sempat penasaran, kenapa tiba-tiba anak bimbingannya hilang.

Pas terlarut di kesibukan lain, saya pun diingatkan kalau waktu periode wisuda pertama sudah tinggal dua bulan lagi. Panik! harus segera kembali ke prioritas. Dosbing saya pun jadi ragu, “Fayed beneran ingin lulus di Juli ini atau tidak?” Itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kata, melainkan harus dengan aksi.

Saya berpikir keras strategi baru untuk mengejar waktu. Maka tercetuslah sebuah ide gendeng. Ya, sepertinya perlu mengasingkan diri untuk fokus nugas akhir. Maka dipilihlah sebuah rumah sederhana di bukit Pangalengan. Di sana tidak ada distraksi apa-apa. Yang ada hanyalah panggilan adzan untuk menjadi batasan teknik podomoro. Beberapa botol susu sapi segar juga ikut menemani. Duduk di samping perapian, hangat-hangat gitu. Lantai teras di sana kalau subuh dingin sekali, itu akhirnya jadi cooler alami laptop. Hampir tiap minggu saya kirimkan progres ke dosbing. Keyakinan mengejar periode wisuda pertama pun menjadi realitis kembali.

Singkat cerita saya akhirnya seminar, lalu berlanjut ke sidang tugas akhir, lalu berhasil ikut Wisuda Juli 2019, lalu kebetulan dapat Ganesha Award. Semua berjalan sangat cepat. Semua seakan tetiba berlalu begitu saja. Rasa senangnya meletus-letus. Tapi rasa gelisahnya juga melebar-lebar.

Saya pun teringat dengan rencana lama saya untuk bikin sesuatu yang lain dari proses tugas akhir saya. Akhirnya dibuatlah sebuah buku panduan singkat tentang mengambil dan memanfaatkan data sekunder untuk desain–yang saya gunakan saat tugas akhir. Saya sebarluaskan ke internet. Saya infokan juga ke dosbing saya. “Pak saya membuat panduan tentang data tugas akhir saya, semoga bisa berguna untuk mahasiswa lainnya.” Dosbing saya pun tersenyum.

Beberapa bulan berlalu, banyak teman dan adik tingkat yang akhirnya berkonsultasi ingin menggunakan data yang sama. Mereka pun berhasil tembus sidang. Dosen pengujinya bertanya, data apa itu yang dipakai? Dijawablah ini data baru dan sebagainya. Ditanya lagi, tau darimana pakai data itu? Dijawablah dari tutorial Fayed. Dosen pengujinya mengangguk-ngangguk.

Setahun-dua tahun berlalu, saya melihat data yang saya gunakan tersebut sudah digunakan oleh banyak orang. Teman saya. Dosen saya. Orang tak dikenal banyak yang kirim email bertanya tentang data tersebut. Bahkan klien dan konsultan di tempat-tempat kerja sudah pada baca buku panduan singkatnya. Saat itu lah akhirnya saya sadar, apa yang saya kerjakan di tugas akhir alhamdulillah bisa membantu yang lainnya.

Lucu juga kalau dipikir. Ternyata sebuah penolakan oleh dosen juga bisa berujung ke sesuatu yang tidak disangka. Iseng berbagi sesuatu sederhana dari tugas akhir juga bisa berdampak luar biasa.

Jadi kapan kamu yang tidak disangka mau berbagi sesuatu sederhana bersamaku?

@beasiswaluarbiasa
#SedikitItuWorthIt
#LamaLamaJadiBukit
#1jadi1000