Hanya beralaskan tikar, saya duduk bersila menghadap beliau. Bukan hal mudah untuk bisa terus memandang kepadanya. Terlebih saat saya harus membicarakan sesuatu yang saya tidak menyangka akan terbahas pada malam itu. Tak berselang lama, saya diminta pulang saja. Katanya saya sudah terlihat terlalu lelah. Biarkan malam menjadi selimut istirahat katanya.
Saya pun manut.
~~
Beliau adalah Sang Guru. Saya sebut demikian karena memang darinya lah saya banyak belajar tentang kehidupan. Walaupun sayangnya, tidak semua orang bisa berkesempatan sama seperti saya. Karena baginya, proses belajar hanya akan bisa berhasil kalau sang murid ridho dalam memilih gurunya dan sang guru ridho dalam menerima muridnya. Jadi ya perlu ada proses ‘seleksi murid’ yang perlu dilalui dulu.
Teringat betul, pertama kali saya memperkenalkan diri kepadanya sebagai seorang ‘Protagonist’. Di sana saya sebut juga “Saya adalah seorang Altruistik.” Semua kata-kata itu sebenarnya tidak begitu saya pahami artinya. Tapi begitulah hasil dari tes MBTI yang mencap saya sebagai ENFJ-T. Sebagai bocah polos, tentu mencoba menjual diri dengan kata-kata tak lazim keren adalah sebuah strategi. Dengan harapan, saya benar-benar bisa diterima sebagai salah satu muridnya.
Sang Guru pun tidak banyak bertanya balik, beliau membiarkan saja saya terus berbicara. Seakan itulah strateginya untuk mengetahui sifat asli seseorang, yaitu memberi panggung kebebasan. Maka alhasil, omongan abstrak nan melebar-lebar dari diri saya pun keluar.
Teringat juga seluruh momen pertama kali saya diterima sebagai murid. Yang tidak lama setelah itu, dibahas lah sebuah kata yang sempat saya gunakan–Altruistik. Sang Guru menjelaskan dengan istilah lain yaitu rasa dalam diri yang selalu mendorong untuk melakukan suatu aksi demi membantu orang lain. Beliau lanjut menerangkan bahwa sudah tidak zamannya kesibukan kita didominasi oleh urusan yang bersifat memenuhi kepuasaan ego pribadi atau keluarga. Kertas-kertas rencana kehidupan juga perlu diisi dengan target objek yang melibatkan orang lain. Karena sejatinya semua rezeki yang diberikan kepada kita juga ada hak bagi orang lain di dalamnya. Ini bukan hanya tentang rezeki dalam bentuk harta, tetapi juga ilmu, keterampilan, dan yang terpenting adalah waktu luang dan kesehatan badan.
Namun begitu, beliau tidak pernah memaksakan berlebihan perihal ini ke semua muridnya. Sebab salah satu prinsip yang juga tidak kalah penting adalah ‘harus selesai dengan diri sendiri’ atau maksudnya jangan lupa bahwa diri kita juga punya hak. Sang Guru tidak mau muridnya menjadi lilin yang menerangi orang lain tapi juga membakar diri sendiri.
Maka di sinilah tantangannya muncul, yaitu bagaimana caranya bisa menyeimbangkan sifat egois dengan sifat altruistik. Jika ego pribadi terlalu tinggi maka merugilah karena akan kecil multiplier effect bagi usaha-usaha yang dilakukannya. Jika ego pribadi terlalu rendah maka merugilah karena akan cenderung memiliki initial capability yang tidak optimal walaupun siap berlipat ganda banyak. Salah satu yang sering ditekankan adalah jangan sampai kita sakit-sakitan karena mengabaikan hak tubuh demi membantu orang lain dan akhirnya jadi memperkecil kemampuan kita membantu kembali di kemudian hari.
Menyambung dari tantangan itu, saya juga sempat penasaran “lalu bagaimana cara membedakan sifat boros dengan sifat dermawan? Mungkinkah dari kedermawanan itu justru berakhir boros?” Sang Guru pun menjawab “Lihat saja dari persentase pemenuhan kebutuhan pribadi dan cek lagi niatnya.” Jika kebutuhan pribadi yang pokoknya telah terpenuhi lalu orang tersebut memutuskan untuk berniat menyumbangkan kelebihan hartanya untuk orang lain maka bukan itulah yang disebut pemborosan. Beda cerita kalau kebutuhan pribadi belum terpenuhi lalu niat memberinya juga aneh. Lagi-lagi menjadi pribadi pertengahan adalah solusi terbaik.
~~
Sekarang, setelah tiga tahun berlalu, murid-murid Sang Guru semakin banyak. Kami pun berkumpul lagi, walau hanya sebatas di depan layar. Sebagian tidak pernah saya temui langsung, tapi sedikit terasa jelas aura-auranya.
Di momen setelah Ramadhan, maka Sang Guru paham betul inilah waktunya para murid-muridnya akan cenderung gelisah. Tapi beliau tidak ingin mengajak muridnya bermuhasabah atau berefleksi diri. Beliau hanya mengingatkan bahwa muhasabah itu tidak harus selalu dilakukan di akhir kegiatan. Justru katanya, orang hebat di luar sana kerap mempraktikan muhasabah di awal kegiatan. Agar mereka sadar, atas dasar apa mereka melakukan ini? untuk siapa melakukan ini? Apakah ada hak diri sendiri atau orang lain yang dirugikan? Apa kebermanfaatan yang diberikan? Apa konsekuensi yang mungkin terjadi?
Mungkin Sang Guru masih mengingat momen malam itu, dua tahun lalu, saat saya bercerita, lalu justru malah disuruh istirahat. Makanya tetiba diingatkan lagi untuk tidak hanya mengambil hikmah setelah kejadian tetapi juga harus tegas merumuskan tujuan setiap mengambil keputusan. Ya, termasuk keputusan yang penuh akan ego pribadi dari seorang altruistik.