Tiba-tiba saya ditelfon. Tidak aneh sih, karena memang banyak orang yang masih sering ngajak telfonan untuk sekedar menyapa kabar. Tidak sedikit juga yang akhirnya berujung cerita diskusi panjang, salah satunya telfon yang tiba-tiba itu.
Yang menelfon kali ini laki-laki seumuran saya. Teman berpikir sehari-hari. Kami memang sering berdiskusi dan bertukar ide sejak kuliah sampai sekarang. Tapi pembicaraan di telfon kali ini agak berbeda dari biasanya. Karena entah sebab apa, dia mengajak diskusi tentang hal yang sangat tabu—setidaknya bagi saya—yaitu pornografi dan perempuan.
~~
Menjadi lelaki di zaman sekarang itu terkadang tidak selamanya mengenakan. Kami dihadapi tantangan iman dengan sebuah kemudahan. Betul sekali, ditantang dengan sebuah kemudahan. Kemudahan yang seperti apa? Salah satunya adalah kemudahan berinternet. Hal itu lah yang dijadikan bridging teman saya di pembicaraan telfon.
Dia mengatakan betapa mudahnya akses internet zaman sekarang. Di daerah pedesaan saja internetnya sudah bisa dipakai untuk streaming video tanpa khawatir mahalnya kuota. Dia pun melihat sekitar, anak kecil sekarang sudah memiliki gawainya masing-masing. Bermain Tik-T*k, menonton Y*utube, dan lalu iklan-iklan muncul tanpa penyaringan. Bahkan untuk iklan merk terkenal pun masih bisa ada yang tak senonoh. Kami para lelaki pun bisa menebak, apa yang akan ada di pikiran si anak kecil saat pertama kali melihat iklan perempuan berbusana sexy joget-joget bebas. Terpaparnya mereka dengan konten seperti itu pasti memunculkan rasa penasaran yang lalu berujung ke pembahasan bersama teman laki-laki lainnya. Sebagian pun mungkin jadi penasaran sendiri dengan sembunyi-sembunyi.
Seiring waktu, mereka akan menemukan cara bagaimana memunculkan kenikmatan semu dari rasa penasarannya. Alhasil reaksi kimia di badannya bergejolak. Otaknya pun mulai menanam memori bahwa apa yang baru saja dilakukan itu sangat sensasional. Dan di sanalah momen pertama kali bibit candu pornografi tertanam. Jika candu tersebut masih ada sampai dewasa, apalagi keterusan sampai momen berkeluarga, hancur sudah peradaban.
Saya masih terus mendengarkan paham, menunggu apa akhiran dari cerita dia. Sampai akhirnya keluar juga kalimat pemungkasnya “Gimana kalau kita bikin gerakan untuk menyelesaikan masalah pornografi itu?”
Singkat cerita, saya tolak ajakannya. Belum memumpuni secara ‘power’ jawab alasan saya. Tapi saya bersedia kalau akhirnya menjadikan bahan diskusi seperti ini tidak menjadi tabu lagi. Lalu saya sampaikan pandangan apa yang di otak saya, karena kebetulan saya teringat dengan istilah ‘Pembenaran dan Kebenaran’ yang diajarkan oleh guru saya beberapa tahun lalu.
Menurut saya, apa yang diceritakan teman saya adalah sebuah kebenaran, bahwa pornografi beserta turunan kegiatannya itu berbahaya dan bahkan itu dilarang agama. Para lelaki, terutama yang muslim pun harusnya sudah pada paham akan hal itu. Tapi lalu kenapa masih banyak yang sering tidak selamat dari jurang tersebut? Bagi saya salah satu penyebabnya adalah karena terlalu banyak pembenaran yang dibuat oleh diri lelaki itu sendiri. Misalnya seperti “ah bukannya ini tuh lumrah ya? semua laki-laki kan emang pasti begitu, gapapa kali wajar” atau “setiap begitu langsung tobat kok” atau “yang penting gak sampai ngelakuin langsung.”
Pikiran-pikiran di atas adalah contoh pembenaran yang dibuat mayoritas lelaki seakan membenarkan apa yang sebenarnya salah. Padahal sudah jelas, tidak semua lelaki itu begitu. Sebagian ada yang memang tidak pernah tertanam bibit pornografi sejak kecil atau bahkan banyak yang sudah berhasil menguatkan imannya sehingga merdeka dari jurang pornografi. Maka tidak boleh ada kata wajar di kasus cerita ini. Lalu, tobat setelah maksiat memang harus disegerakan, bahkan mau bertobat berkali-kali pun tak apa, justru malah dianjurkan. Tapi apakah itu bisa dijadikan pembenaran untuk terus melakukan hal yang salah? Apakah itu tidak seperti sedang mempermainkan Tuhan? Terakhir, para lelaki perlu paham bahwa apa yang dimasukannya ke dalam otak itu akan membekas. Apakah tidak khawatir nantinya selalu terbayang-bayangi gambaran yang tidak diinginkan di setiap detik kehidupannya?
Teman saya pun puas setuju dengan kasus masalah pembenaran-pembenaran di atas. Maka dia kesampingkan cerita dan gerakan yang dia ingin rintis, sebelum akhirnya dia lanjut bercerita bahwa dia baru saja digoda oleh perempuan yang menawarkan tubuhnya ke arah yang tidak baik. Memang saat itu dia sontak kaget dan langsung menolak. Tapi kejadian ini berujung ke sebuah pertanyaan, kenapa sekarang semakin banyak perempuan yang tidak tau malu bahkan sampai menawarkan dirinya ke seseorang yang bukan pasangan halalnya.
Saya pun jadi teringat tulisan Shaikh Abdal-Hakim Murad atau biasa dikenal dengan nama Timothy John Winter. Seorang mantan Katholik yang memutuskan untuk menjadi mualaf setelah mempelajari konsep agama Islam dan kebiasaan umat Muslim di Mesir. Beliau menuliskan artikel online panjang dengan judul “Boys Will Be Boys”. Tulisan tersebut sudah dirilis jauh sebelum gerakan LGBTQSS++ berkembang seperti zaman sekarang. Tulisannya bisa dibaca di sini dan isinya adalah seputar Feminisme.
Menurut pandangan beliau, pada gerakan feminisme yang didengungkan pada tahun 1960-an, memang terdapat kebenaran bahwa banyak ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat, terkhususnya belahan barat sana. Namun semua itu terlihat berbeda sekali dengan gerakan feminisme pada tahun 1990-an. Alih-alih memperjuangkan kehormatan para perempuan, justru gerakan feminisme sekarang seakan ditunggangi oleh kepentingan ‘beberapa lelaki’ yang kini malah mengacak-ngacak pola pikir kebenaran atas kehormatan perempuan.
Beliau pun lanjut memberikan contoh-contoh. Salah satunya adalah gerakan yang memperjuangkan kebebasan perempuan dalam berbusana. Beliau bercerita bagaimana gerakan tersebut telah dibajak oleh para lelaki tak bermoral. Gerakannya justru jadi malah memperjuangkan ke arah pemikiran bahwa “perempuan harus bisa berbusana bebas selama di masyarakat”. Hal ini juga diperparah dengan penggiringan bahwa “perempuan juga harus bisa tampil di majalah, televisi, bahkan acara publik layaknya lelaki sebagai tanda kebebasannya”. Dua perjuangan ini dipelintir dan dimanfaatkan ke arah tren industri mode baru. Tren mode saat ini seakan mengatakan bahwa busana perempuan yang kekinian dan menjunjung kebebasan adalah yang menunjukkan keindahan badannya alias busana tebuka. Seiring waktu, tren industri mode ini semakin menyaru dengan industri pornografi yang tak lain akal-akalan ‘beberapa lelaki’ untuk bisa memanfaatkan perempuan seenaknya. Secara logika pun juga terlihat bagaimana akhirnya subjek yang terdegradasi kehormatannya atas adanya kasus di atas adalah perempuan.
Pada akhirnya pun, pembenaran juga muncul di kalangan perempuan, terkhususnya seperti perempuan yang teman saya sebut tidak tahu malu tadi. “Ah wajar saja kok berbusana seperti ini di depan publik, orang-orang lain juga begitu” atau “nyatanya dengan saya tampil begini, saya jadi lebih banyak menghasilkan uang” atau “saya bebas pakai apa saja, masyarakat tidak punya hak untuk mendikte saya.”
Mereka seperti tidak sadar, pembenaran-pembenaran itu telah menutupi kebenaran bahwa kehormatannya sedang digadaikan. Begitu juga dengan para lelaki yang masih suka mencari pembenaran atas kebiasaan buruk yang bisa mencederai tubuhnya.
~~
Semenyeramkan itulah kehidupan di zaman sekarang. Kami pun menutup diskusi telfon dengan rasa-rasa merinding. Saling mendoakan dan penuh harap agar tidak terjebak pada pembenaran diri, serta bisa teguh mengikuti kebenaran, syukur-syukur jika bisa mengingatkan yang lain. Kalian pun juga semoga begitu. Aamiin.
Guren
Aamiin.
Dizka
This is so well-written!