Oh begini kondisi sebagian Indonesia

Waktu itu di Mata Najwa, ada dua bapak Gubernur, duduk berdampingan, saling memamerkan apa yang telah dipersiapkan untuk menyambut Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Sebagai orang Jakarta, sudah tinggal mengangguk-ngangguk apa yang dikasih tau pak Anies. Tapi berbeda, saat giliran pak Alex Noerdin menyampaikan tentang persiapannya. di benakku muncul bayangan Palembang kini telah menjadi kota yang bagus sekali. Jakabaring Sport City, Palembang Light Rail Transit (yang melewati Sungai Musi, berdampingan dengan Jembatan Ampera), wah mantap sekali lah pak Alex menjelaskannya. Diri jadi berbinar-binar bermimipi untuk pergi ke Palembang, entah harus kapan.

~~

Asik ke Palembang

Tiga bulan kemudian, kesempatan emas datang. Ada lomba poster ilmiah di kampus kebanggaan Sumatera Selatan–Universitas Sriwijaya. Temanya tapi sangat membosankan, tentang industry 4.0 lagi, dan dikaitkan dengan peran pemuda. Aku ajak Isma, aku ajak Faris. Dua teman kuliah yang entah bagaimana chemistry antar kaminya kuat banget. Kami bertiga sepakat ikut lomba ini dan membawa ide simpel tapi mudah direalisasikan. Terbukti punya kami masuk gran final. Saksikanlah! ide terbrilian abad ini…. iCowMoo! (dibaca “ai kaw muuu”) lihat saja posternya. Harusnya kalian akan paham setelah membacanya.

iCowMoo!

dan kami tidak juara.

Ya tidak, juara harapan sekalipun, namun tidak apa-apa. Tujuan kami bertiga ikut lomba ini memang bukan untuk menang, melainkan untuk pergi ke Palembang. Kami mau berwisata ke kota tuan rumah Asian Games 2018 itu. Overall, kotanya tidak sesuai ekspetasi. Terlalu masih berantakan, tapi mungkin itu karena badai baru saja menerjang kotanya. Atap-atap stadion di Jakabaring pada rusak, terlepas terbang bebas. Tribun jetski nya runtuh total. Rumah-rumah pinggir jalan juga tak luput jadi korban.

Untung saja ada Pempek. Penyelamat rating kota ini. Desas desus mengatakan, orang Palembang itu kuat-kuat. Kapal selam dan roket saja dimakanin. Pempek kapal selam… pempek roket… retcheh banget ya maap. Tapi seriusan, makanan di sini semuanya enaaaaaaaaaak. Semua ada rasa udang-udangnya, ada rasa ikan-ikannya. Sudah seperti di Jepang sana (Lah padahal belom pernah ke Jepang. tapi tak apa, semoga segera).

Bisa-bisa makan enam kali sehari.

Makanan-Makanan Enak

~~

Pengalaman naik LRT Indonesia pertama kali ya di sini. Punyanya Jakarta belum selesai. Dulu pernah sih naik yang di Kuala Lumpur. Kesan pertama waktu ke stasiun LRT Palembang adalah; ketimpangan. Stasiun LRT berdiri kokoh sedangkan kiri kanannya hanyalah warung kayu biasa. Stasiunnya bersih mengkilap sedangkan jalanan sekitar tebal debunya 2 centimeter. Tak apalah. Sistem tiket di sini masih pakai kertas dengan barcode, terus nanti ditempel ke pintu otomatis agar bisa masuk area stasiun lebih dalam, setelah dipakai kertasnya ya dibuang, sia-sia. Di Kuala Lumpur beda cerita, mereka pakai coin yang setelah dipakai akan dimasukkan kembali ke dalam mesin gerbang. Setelah melewati pintu otomatis, lalu kami naik eskalator ke atas. Langsung ditegur satpam. Ternyata harus menunggu kereta datang dulu, baru orang-orang pada boleh ke atas. Baiklah. Keliling-keliling stasiun bagian bawahnya, lumayan lega dan terang juga. Sayang tampilan layar jadwal keberangkatan masih norak padahal papan signage-nya sudah oke.

Kereta datang. Rasa-rasanya seperti di Jepang, orang-orang berusaha mengantri di balik garis, membiarkan yang keluar terlebih dahulu. Tertib. Ya mungkin karena masih baru dan biar tidak dibilang kampungan. Eh siapatau nanti jadi kebudayaan baru.

Tipe penumpang di sini ada dua; diam duduk dan nora ngevideoin kondisi dalam kereta. Ya pasti kalian tau lah ya kami masuk tipe yang mana.
Cie Naik LRT

~~

Sudah-sudah, cukup cerita Palembang nya. Selanjutnya mau ngomongin pembelajaran tentang pemberian momen oleh Sang Maha KuasaIndonesia ini benar-benar unik, beragam agama, beragam budaya, tapi yang lebih penting beragam watak. Palembang-Lampung-Medan-Padang-Riau-Aceh semuanya punya watak masing-masing. Padahal hidup satu pulau. Dan yang paling seru adalah ketika orang Indonesia dikumpulkan di satu ruangan. Itulah yang terjadi saat technical meeting lomba kemarin. Setidaknya ada seratus orang berkumpul dari berbagai penjuru daerah.  Pihak panitia memaparkan ketentuan yang sifatnya dadakan, lalu para peserta technical meeting merasa sangat dirugikan. Awalnya kita mendumel sendiri, lalu ada anak Universitas Gadjah Mada (UGM) berdiri. Lantangnya, dia memprotes apa yang dikatakan panitia. Selepas ia duduk, langsung ada yang menyambar. Kini dari barisan belakang, menekankan setujunya dia terhadap anak UGM ini. Lalu berdiri lagi orang lain memaparkan kekesalannya. Pihak panitia membalas, ini adalah kebijakan dari pihak dosen. Lalu ada lagi yang protes. Terus berlanjut. Panitia versus peserta. Saling adu argumen dengan ngotot dan ada pula yang halus pisan. Padahal poin yang disampaikan sama-sama saja.

Technical Meeting diselesaikan, setelah pihak panitia mengalah. Faris keluar ruangan dengan raut muka aneh. Dia menyesal, kenapa dia tidak bisa menjadi penengah keseturuan tadi sejak awal. Dia tau dia bisa, tapi dia tidak mau. Biasanya saat melihat kondisi tidak ideal, Faris lah yang langsung muncul.

Lagi Galau

Momen itulah. Akhirnya yang membuat Faris berpikir ulang tentang kehidupan kampus. Rencana untuk maju menjadi Presiden Keluarga Mahasiswa ITB timbul lagi ke permukaan.

Coba lihat, apa yang sekarang terjadi.