Saya baru saja selesai berdiskusi dengan istri terkait rencana saya untuk berkuliah lagi. Selama diskusi, terdapat beberapa pertanyaan darinya yang mirip dengan yang pernah saya tanyakan pada diri saya sendiri, terutama ketika saya ingin menjadi Ahli Pengembangan Pelabuhan (Port Development Expert) namun memilih untuk belajar di jurusan Infrastructure Planning, Appraisal, and Development di University College London.

Salah satu pertanyaan tersebut adalah: “Mengapa tidak pilih jurusan teknik kepelabuhanan jika ingin menekuni bidang pelabuhan?” Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah didapatkan jika saya tidak berusaha untuk menarik diri dari lingkungan ‘anak teknik’ dan belajar untuk melihat pelabuhan secara lebih holistik. Sekarang, saya telah belajar, saya yakin dengan jawaban saya—setidaknya sampai saat ini—dan yakin ini juga yang perlu dipahami oleh orang lainnya saat berbicara pelabuhan.

Jadi mengapa saya tidak memilih jurusan teknik kepelabuhanan? Karena pandangan saya tentang pelabuhan telah berubah. Pelabuhan tidak hanya tentang laut, dermaga, lapangan, gudang, dan alat. Pelabuhan tidak hanya tentang operasi bongkar muat. Pelabuhan tidak lagi hanya satu jenis infrastruktur yang bisa dibangun sendiri. Pelabuhan lebih dari itu. Terlebih jika pelabuhan ingin dilihat sebagai infrastruktur yang dapat memajukan ekonomi suatu wilayah.

Mari kita jawab pertanyaan di atas dengan melihat 3 masalah utama pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk pelabuhan, yang saya simpulkan dari pengalaman belajar selama ini:

Masalah pertama adalah Indonesia sedang mengalami kekurangan pendanaan infrastruktur. Menurut CNBC News Indonesia, Kementerian Keuangan dan Kementerian Bappenas merencanakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2020-2024 yang berisi daftar rencana pembangunan dan pengembangan infrastruktur Indonesia. Anggaran yang diperlukan diperkirakan mencapai Rp 6,445 triliun, angka yang fantastis. Namun, anggaran nasional kita/ APBN hanya sanggup membiayai sepertiga dari total dana yang diperlukan, yang berarti terdapat defisit dua pertiga untuk menutupi biaya sisanya.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Indonesia mulai membuka skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), di mana swasta dapat berperan aktif dalam pendanaan untuk pembangunan atau pengoperasian pelabuhan dan kemudian mendapatkan hak istimewa seperti dapat melayani penumpang/barang kepentingan umum, yang sebelumnya hanya dikuasai oleh negara (Kementerian Perhubungan & PT Pelindo).

Namun, sampai saat ini, masih sedikit KPBU yang berhasil di sektor kepelabuhanan, yaitu hanya Pelabuhan Patimban dan Pelabuhan Anggrek. Lalu, apa penyebabnya? Coba kita berandai sejenak menjadi pengusaha, apakah kita bersedia menggelontorkan uang yang banyak untuk membangun infrastruktur dan menyediakan alat yang masif dan mahal namun tidak ada kepastian kalau pelabuhan kita akan ramai dan uang investasi kita akan kembali serta menghasilkan untung?

Bisnis pelabuhan adalah bisnis dengan resiko tinggi, terutama jika yang ditawarkan adalah pelabuhan di daerah yang tidak memiliki tempat produksi seperti tambang, industri pabrik, dan industri manufaktur di daerah belakangnya (hinterland). Kapal siapa yang akan datang jika tidak ada yang harus di bongkar muat? Pengusaha truk atau pemilik peti kemas juga belum tentu bersedia. Ingat, membangun pelabuhan memerlukan investasi yang besar dan hanya bisa mengembalikan uang yang banyak jika aktivitas bongkar muatnya cukup besar.

Masalah kedua adalah Indonesia sering membangun infrastruktur secara terpisah-pisah dan tidak sistematis. Melihat dari apa yang terjadi pada pelabuhan-pelabuhan di Indonesia membuat saya sering memikirkan hal ini. Coba lihat terminal peti kemas Pelabuhan Patimban di Jawa Barat, yang dibangun oleh pemerintah melalui pinjaman dari Jepang untuk membantu mengurangi beban Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta yang katanya sudah melebihi kapasitas. Setelah pembangunan selesai, investasi alat dan operasi pelabuhannya dilelangkan ke publik, dimenangkan oleh perusahaan operator swasta lokal. Semua telah selesai dan siap sejak tahun 2020. Namun, apa yang terjadi? Pelabuhan ini tampaknya tidak cukup diminati karena infrastruktur yang dibangun masih tidak sistematis.

Walaupun fasilitas dermaga dan lapangan peti kemas telah dibangun sejak tahun 2020, tetapi jalan tol dan jalur kereta api yang menghubungkan pelabuhan dengan kawasan industri di sekitarnya baru akan dibangun tahun 2023. Selain itu, sampai saat ini pun fasilitas logistik di sekitarnya hampir tidak ada. Lalu apa nilai tambah dari pelabuhan ini jika alur barang di sekitarnya masih belum berjalan dengan lancar? Apalagi, kedalaman kolam pelabuhannya yang disiapkan hanya -10 meter di tahun 2020 dan direncanakan baru akan menjadi -14 meter di tahun 2025. Maka pertanyaannya kenapa harus dibangun bertahap jika kita tahu bahwa kapal besar perdagangan internasional membutuhkan kolam yang lebih dalam dari -14 meter? Siapa calon mitra internasional yang mau berbisnis di sana sejak 2020 jika standar minimum kriterianya tidak terpenuhi?

Tidak mengherankan jika hingga saat ini operator terminal peti kemas Pelabuhan Patimban kesulitan mencari mitra bisnis yang benar-benar berminat. Calon mitra banyak menimbang-nimbang dan lebih memilih untuk ‘wait and see’ terlebih dahulu. Padahal, katanya time is money, namun waktu 3-5 tahun seakan direncanakan sejak awal untuk terbuang sia-sia tanpa aktivitas yang berarti. Seandainya pembangunan pelabuhan ini sudah disertai dengan infrastruktur jalan tol, rel kereta, fasilitas logistik, dan fasilitas penunjang lainnya, mungkin kita bisa melihatnya berfungsi dengan baik dan sebagaimana mestinya, tidak lama setelah Pak Presiden meresmikan.

Perlu diingat, bahwa contoh yang saya berikan di masalah kedua adalah salah satu mega proyek pelabuhan di Indonesia yang terbaru. Jadi jika hal yang seperti ini masih luput di sana, maka jangan coba-coba melirik ke pembangunan pelabuhan yang lainnya, takutnya nanti bisa geregetan.

Masalah ketiga adalah bahwa Indonesia sering gagal dalam mewujudkan tujuan utama dari pembangunan infrastruktur pelabuhan, yaitu meningkatkan ekonomi regional dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Jumlah pembangunan pelabuhan (dan infrastruktur secara umum) dalam 10 tahun terakhir dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kita menunjukkan bahwa meskipun pembangunan terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi kita stagnan di angka 5%. Oleh karena itu, penting untuk merefleksikan diri dan mempertimbangkan apakah pembangunan kita selama ini benar-benar bermanfaat untuk ekonomi dan bukan hanya sekadar membangun tanpa memastikan kinerja yang baik.

Saya paham betul masalah ketiga ini sangat sulit untuk dihadapi karena infrastruktur bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan ekonomi sebuah negara dan penentu apakah investor asing mau datang atau tidak. Ya saya paham ada faktor lain juga seperti kualitas penegakan hukum, kestabilan negara, kapabilitas SDM, value chain, dan sebagainya yang bisa menghambat sebuah negara untuk berkembang. Tetapi apakah saya cukup adil jika merasa infrastruktur tetap patut disalahkan di saat kita memiliki masalah pertama dan kedua?

~~

Sekarang, mari kita kembali ke diskusi awal mengapa saya tidak memilih jurusan teknik kepelabuhanan, melainkan jurusan perencanaan dan pengembangan infrastruktur. Hal ini dikarenakan saya melihat bahwa masalah di Indonesia sangat kompleks dan multidimensi. Jadi, saat ini saya memutuskan untuk perlu juga memahami ilmu perencanaan dan pengembangan yang komperehensif, sebagai pelengkap ilmu teknis yang sudah dimiliki.

Saya meyakini bahwa ketiga masalah yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan pelabuhan, yaitu minimnya modal pembiayaan, perencanaan yang tidak sistematis, dan pembangunan yang tidak berorientasi pada tujuan, hanya bisa diatasi melalui pendekatan multidisiplin. Kita perlu memahami filosofi infrastruktur, yang sebenarnya bertujuan untuk melayani kepentingan umum—itulah asal usul nama ‘civil engineering’. Oleh karena itu, pendekatan teknis saja tidaklah cukup. Aspek bisnis, finansial, dan manajemen resiko juga perlu diperhatikan agar investor tertarik dan pada saat yang sama dapat menjawab kepentingan masyarakat.

Dengan memahami pola bisnis, kita dapat memperhitungkan aspek finansial secara lebih baik dan mengurangi risiko jangka panjang. Selain itu, mitigasi risiko dan dinamika regulasi juga perlu dipertimbangkan sejak awal.

Lalu dengan demikian solusinya apa? Saat ini saya terpikirkan satu, yaitu setiap pemerintah Indonesia ingin membangun atau mengembangkan infrastruktur di sebuah wilayah, pastikan agar dikembangkan dalam bentuk SATU PROGRAM. Berbeda dengan proyek, program itu bersifat jangka panjang dengan tujuan yang besar namun tetap terukur. Program ini harus dirancang agar setiap proyek infrastruktur yang saling terhubung dalam sistem dapat direncanakan bersama secara sistematis dan selesai dibangun dalam waktu yang berdekatan. Hanya dengan begitu, program ini berhasil menjawab kedua masalah pertama di atas dan kemudian mampu beroperasi dengan baik untuk meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Mari kita buat contoh, misalkan Pemerintah Indonesia ingin menurunkan biaya logistik di Jawa Barat agar semakin banyak penghasil barang / industri di provinsi ini yang bermunculan dan berdaya saing melalui perdagangan internasional. Maka dibentuklah Program Infrastruktur Perdagangan Jawa Barat. Selanjutnya dipetakan apa saja infrastruktur yang dapat membuat sistem logistik internasional tersebut: pelabuhan internasional sebagai pintu gerbangnya, kawasan industri sebagai pembangkit barangnya, fasilitas logistik pergudangan sebagai inventory-nya, fasilitas bea cukai dan karantina untuk penjaganya, bandara internasional sebagai pintu gerbang manusianya, jalan tol dan rel kereta api sebagai moda transportasi penghubungnya, fasilitas air, listrik, limbah, dan fasilitas apapun yang dapat saling mendukung. Seluruh fasilitas tersebut kemudian direncanakan sebagai sebuah sistem infrastruktur wilayah dengan tujuan tertentu. Setelah itu baru bisa dilakukan studi perencanaan dasar/masterplan, perencanaan detail, dan pembangunan masing-masing fasilitas dengan tetap memperhatikan kerangka waktu yang seragam.

Jika kemudian diperlukan pendanaan, maka konsep yang tersistematis seperti ini tentu akan dilihat sebagai produk yang sangat menggiurkan apalagi jika pihak swasta dibiarkan berinvestasi secara bundle/paket. Misalkan, karena di tahap awal pengembangan, pembangunan pelabuhan butuh biaya besar namun dengan pendapatan yang relatif masih kecil (growing revenue), maka mereka berkesempatan mendapatkan harga diskon jika menanamkan modal secara paket di beberapa infrastruktur lain, seperti misalnya fasilitas logistik atau kavling di kawasan industrinya. Saya membayangkan kalau sudah seperti ini, maka kita tidak perlu sibuk mempromosikan, justru kitalah yang akan sibuk menerima penawaran.

Harapannya dengan pengembangan infrastruktur yang sistematis dari segi waktu, fungsi, dan pengelolaan di sebuah wilayah tertentu, akan memberikan dampak yang nyata dan signifikan pada ekonomi wilayah tersebut. Jika sudah berkembang seperti ini, maka tinggal ditambah sektor pendidikan tinggi dan riset untuk melakukan kolaborasi ilmu berbagai pelaku (interactive innovation) sehingga dapat terwujud kawasan yang belajar (learning region) atau wilayah yang akan dikenal akan spesialisasinya. Sebab, tidak ada salahnya kan bermimpi Kabupaten Subang, tempat Pelabuhan Patimban berada, bisa naik level seperti Kota London, Kota Rotterdam, Kota Singapore atau bahkan Kota Shenzhen?

~~

Kesimpulannya, membangun pelabuhan bukan lagi hanya tentang mendesain dan membangun struktur dermaga, lapangan, kolam dan sebagainya. Sebaliknya, perlu dilakukan perencanaan yang holistik dan sistematis agar pelabuhan dapat berfungsi sebagai bagian dari sistem rantai pasok (supply chain) yang lebih besar, di mana bisnis dan fasilitasnya terhubung langsung ke luar daerah pelabuhan itu sendiri. Dengan begitu, semoga di seluruh daerah di Indonesia tidak lagi berbangga jika membangun infrastruktur-infrastruktur besar, melainkan bangga jika akhirnya sistem infrastruktur daerah tersebut berhasil membuat siklus rantai pasok di sana berjalan bahkan hingga layak disebut sebagai daerah ‘Si Paling Pelabuhan’.