Setelah menghabiskan lebih dari tiga bulan di Inggris untuk belajar tentang idealitas dan realitas infrastruktur, saya mulai terdorong untuk selalu mengedepankan sikap kritis atas pengembangan infrastruktur. Sebelumnya, pandangan saya terhadap infrastruktur terlalu terbatas, terpaku pada kacamata lulusan teknik sipil (laut) yang minim akan konsep holistik dan filosofis. Namun, paparan berbagai perspektif di kuliah sini mengungkapkan bahwa infrastruktur adalah suatu hal yang patut direfleksikan, sebab dunia sedang dimabukkan dengannya tetapi setiap jawaban akan pertanyaan apa itu dan mengapa infrastruktur akan berbeda tergantung pada siapa yang ditanyanya.

Pandangan awam kerap menunjukkan bahwa infrastruktur dianggap sebagai panacea/obat mujarab untuk segala masalah. Ketika ada masalah ketahanan pangan, maka muncul ide terbaik adalah Food Estate di Kalimantan. Kemacetan di ibukota? Ide jalan tol dalam kota. Ketimpangan ekonomi? Ide ibukota baru. Tidak jarang ide membangun infrastruktur sudah muncul sebelum menemukan inti dari permasalahan, atau bahkan diciptakan saja masalah baru. Fenomena ini semakin meningkat seiring dengan globalisasi yang membuat perekonomian tanpa batas, memicu kompetisi antar wilayah dan negara. Sehingga ide tentang “infrastructuralism” pun muncul sebagai keyakinan bahwa semakin banyak, besar, dan cepat pengembangan infrastruktur, maka semakin baik regional tersebut dalam menghadapi tingkat kompetisi global. Namun, pertanyaannya, apakah kita bisa terus seperti ini tanpa menyadari apa kita paham tiap tujuan pengembangannya? Untuk siapa ini dibangun? Siapa yang diuntungkan? dan apa kriteria infrastruktur yang “sukses”? Saya tidak diberi tahu jawabannya secara eksplisit oleh dosen dan Profesor di sini, tetapi saya dibiarkan untuk menjawab sendiri berdasarkan apa yang dibaca, dilihat, didengar, dialami, dan dirasionalisasi oleh akal sehat.

Kriteria Sukses Pengembangan Infrastruktur

Kompleksitas proyek infrastruktur sering dijadikan alasan untuk tidak adanya kriteria keberhasilan yang disepakati. Namun, bahkan dalam sistem yang kompleks, sangat penting untuk menetapkan kriteria keberhasilan dan pengukuran dampak untuk menentukan hal apa yang benar dan penting dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sehingga kesalahan tidak perlu berulang, dan kebenaran akan terus dipertahankan.

Berbagai pendekatan terhadap keberhasilan infrastruktur sebenarnya sudah banyak ada, salah satunya “Iron Triangle” yang umumnya digunakan oleh para pejabat praktis dan kontraktor, berfokus pada keberhasilan pembangunan infrastruktur berdasarkan rencana waktu, anggaran, dan spesifikasi. Meskipun perspektif tradisional ini diunggulkan untuk evaluasi kuantitatif, menjadi sulit ketika mempertimbangkan adanya dampak dan kompleksitas pemangku kepentingan (stakeholder) di sebuah proyek infrastruktur. Akhirnya, beberapa ahli pun menyarankan untuk mengukur keberhasilan yang bersifat objektif dan berbasis dampak, dengan mengintegrasikan proyek infrastruktur ke dalam strategi organisasi/pemerintah secara menyeluruh untuk mengatasi masalah yang muncul. Meskipun demikian, mengandalkan hanya satu kriteria saja seperti di atas dapat menimbulkan kebingungan. Sebagai contoh, proyek Panama Canal Expansion mungkin dianggap gagal karena menjadi bencana finansial bagi promotor disebabkan anggaran yang membengkak besar, namun dianggap berhasil dalam mencapai tujuan strategisnya. Contoh lain sebaliknya adalah proyek Bandara Kertajati yang selesai dengan sangat cepat setelah pemerintahan baru berkuasa, namun gagal total dalam mencapai fungsi dan tujuannya setelah beroperasi.

Lebih lanjut, selain melihat sukses infrastruktur dari ‘iron triangle‘ dan ‘strategic lens,‘ perlu dipahami bahwa banyak pemangku kepentingan sekunder yang masih sering diabaikan dan berpotensi terdampak oleh proyek infrastruktur. Sedangkan, manusia sudah diberikan suri tauladan yang sangat adil, maka apa yang dibangunnya pun harus adil memperlakukan siapapun yang terdampak. Oleh karena itu, meskipun persepsi tiap pemangku kepentingan terhadap proyek infrastruktur dapat bervariasi dan sering dipengaruhi oleh ketidakpercayaan, kecurigaan, dan kepentingan individual, menggunakan ‘stakeholders perspective’ sebagai pandangan tambahan terhadap kriteria keberhasilan dalam proses pengambilan keputusan proyek infrastruktur menjadi sangat penting.

Maka jika kita menggabungkan seluruh perspektif sukses secara holistik seperti di atas, kita akan menemukan banyak bahwa kasus pengembangan infrastruktur ternyata tergolong gagal. Ada yang berhasil terbangun dengan kokoh, tapi tidak memenuhi rencana awal, baik dari segi anggaran, waktu, penerimaan pemangku kepentingan, efisiensi operasional, maupun pencapaian strategi tujuan secara keseluruhan. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun insinyur sipil di seluruh dunia telah mencapai prestasi luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan selama beribu-ribu tahun, masih ada pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan untuk menyempurnakan pengembangan infrastruktur oleh ahli di sektor lainnya.

Sehingga saya merefleksikan, masalah di pengembangan infrastruktur timbul karena infrastruktur sering dianggap sebagai sesuatu yang kaku dan harus berdasarkan hitungan mutlak, hal ini membuatnya tidak kreatif dan tidak adaptif. Sedangkan, akar masalah yang ingin dipecahkan sebenarnya adalah masalah sosial, yang memerlukan pendekatan dan cara berpikir yang berbeda dan umumnya tidak dimiliki oleh para insinyur, melainkan dimiliki oleh para ahli di bidang sosial, psikologi, lingkungan, finansial, ekonomi, dan bahkan politik. Oleh karena itu, dalam merefleksikan infrastruktur lebih lanjut, kita harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan seluas-luasnya. Pengembangan infrastruktur harus dilihat sebagai objek dan proses yang perlu ‘dikeroyok‘ berbagai ilmu pengetahuan dan jangan sampai kita menjadi orang terlalu sombong merasa memahami semua konteksnya dalam pikiran yang terbatas.

Konteks dalam Proyek Infrastruktur

Konteks dalam proyek infrastruktur memiliki peran krusial, di mana sebuah proyek yang dianggap ‘bencana’ hari ini mungkin menjadi ‘sukses’ dengan konteks yang baru, dan begitupun sebaliknya. Di sini, konteks dapat melibatkan berbagai dimensi, masing-masing memberikan pengaruh yang beragam. Banyak penilitian kompak mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan dalam proyek infrastruktur terjalin dengan erat dengan konteks politik dan ekonomi.

Keputusan dalam proyek infrastruktur ini sering melampaui analisis semata, melainkan bergantung pada subjektivitas dan retorika politisi si pembuat keputusan. Ini disebabkan oleh karakteristik proyek infrastruktur yang non-linear, bisa juga karena adanya behavioural issues/isu perilaku, dan motivasi politisi berpengaruh, yang sering disebut sebagai ‘political champions‘. Namun, mengingat durasi proyek infarstruktur kerap lebih panjang dibandingkan dengan masa jabatan satu pemerintahan, ketidakberlanjutan politik dapat menyebabkan turbulensi, menimbulkan resiko infrastruktur yang dibajak dan bahkan diberhentikan. Sehingga pada akhirnya akan selalu ada ‘project guardian‘ yang memegang tongkat estafet politik untuk menjaga kemajuan selama pengembangannya.

Konteks ekonomi juga memainkan peran signifikan dalam pengambilan keputusan proyek infrastruktur. Biasanya proyek infrastruktur diiringi dengan rencana pertumbuhan atau stimulus ekonomi, dan dianggap sebagai silver bullet/senjata ampuh untuk mengatasi masalah ketimpangan. Berbagai literatur memang menemukan korelasi yang kuat bahwa infrastruktur benar-benar dapat mensejahterakan dan meningkatkan produktivitas. Namun, bukan berarti kita perlu menjadi membangun infrastruktur sebanyak-banyaknya secara membabi buta, padahal sumber daya yang dimiliki terbatas. Sebab konteks ekonomi ini juga membawa sebuah risiko, seperti yang terlihat dalam penundaan atau kegagalan proyek infrastruktur selama pertumbuhan ekonomi stagnan, krisis keuangan, dan gelembung ekonomi. Terlebih, infrastruktur yang tidak efisien dan tidak dirawat, setelah melalui masa hidupnya akan berubah dari sebuah manfaat menjadi beban keuangan atau disebut sebagai ‘reverse infrastructure trap‘ sebagaimana terjadi di beberapa kota besar Amerika Serikat saat ini.

Perkembangan dunia akibat globalisasi dan ‘open economy‘ juga telah mengubah kebijakan menuju pendanaan terbuka dan kemitraan dalam proyek infrastruktur yang kini banyak melibatkan sektor swasta dan asing. Kondisi-kondisi ini menarik bagi investor yang mencari arus kas yang stabil dan jangka panjang. Hasilnya pun banyak terlihat hari ini, Multilateral Development Banks (MDBs) dan Sovereign Wealth Funds (SWFs) seringkali berinvestasi di pemerintahan pusat dan lokal, terkadang dengan murah hati menawarkan bantuan teknis, namun juga dengan beberapa persyaratan kondisional mengikat. Investor Private Equity (PE) juga semakin menjamur dalam pengembangan infrastruktur melalui Public-Private Partnership (PPP). Namun, kekhawatiran pun muncul terkait prioritas mereka yang kerap bertolak belakang, termasuk pendekatan mereka yang berfokus pada keuntungan seperti praktik pembelian/penjualan ekuitas/aset infrastruktur dalam jangka waktu pendek yang hanya akan mengakibatkan penurunan efisiensi dan perkembangan jaringan infrastruktur yang tidak sistematis.

Mengingat nilai strategis dalam proyek infrastruktur, pendanaan dan sponsor juga kerap dikaitkan dengan bentuk kekuasaan geopolitik bagi aktor global. Misalnya, Japan’s Partnership Quality Initiative (PQI) dan China’s Belt Road Initiative (BRI) bertujuan untuk memperkuat pengaruh masing-masing negara di Asia dan Afrika, sementara Trans-European Transport Networks (TEN-T) bertujuan untuk memperkuat posisi Eropa secara global. Meskipun ada kekhawatiran geopolitik, kehadiran mereka juga dianggap memberikan kesempatan bagi negara-negara kecil untuk mengembangkan proyek infrastruktur yang diperlukan melalui kerjasama internasional, mengatasi sumber daya manusia dan finansial, serta menyebarkan ‘praktik baik’ global melalui kerangka safeguard dalam proyek yang mereka bantu danai dan kembangkan.

Oleh karena itu, mengerti dan sensitif terhadap pengaruh konteks dalam pengambilan keputusan sangat penting untuk menavigasi kompleksitas proyek infrastruktur. Hal ini pun secara tidak langsung menunjukkan kebutuhan akan pendekatan pengembangan infrastruktur yang lebih terbuka dari biasanya.

Keterbukaan Sistem

Di tengah tantangan infrastruktur masa kini, sistem yang transparan dan terbuka menjadi sangat penting, karena konteks politik dan ekonomi yang dominan seringkali menghambat pengambilan keputusan yang rasional, dan hanya menghasilkan keputusan ide infrastruktur yang tidak optimal. Banyak ahli sudah dari dulu menyarankan perlunya membuka sistem untuk berbagai opsi solusi (optioneering) terhadap sebuah masalah untuk meningkatkan legitimasi, kepercayaan, dan kekuatan pengambilan keputusan. Walaupun, menutup sistem tetap penting untuk mendorong progres, namun perlu diingat bahwa penutupan sistem yang terlalu dini bisa menghilangkan kepercayaan.

Keterbukaan juga sangat penting untuk memastikan objektivitas. Data berbagai penelitian mencatat bahwa banyak proyek infrastruktur seringkali tidak berakhir sebagaimana yang dijanjikan karena proyeksi yang terlalu optimis, pengabaian terhadap risiko, perilaku buruk pejabat, dan keterbatasan institusional. Oleh karena itu, akuntabilitas dan transparansi diperlukan dengan melibatkan pemeriksaan para ahli dari lintas organisasi, serta perencanaan terbuka untuk berbagai skenario yang mungkin terjadi.

Selain itu, proyek infrastruktur sering gagal saat terdapat pemahaman yang terbatas tentang bagaimana infrastruktur tersebut berfungsi dalam suatu sistem. Hal ini berujung pada proses pengambilan keputusan yang salah dan menghasilkan kondisi operasional yang tidak optimal. Sebagai contoh, keputusan untuk memiliki proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dapat menjadi fatal, tanpa mempertimbangkan infrastruktur terkait dalam sistem jaringan yang lebih besar untuk distribusi hulu dan hilir—yang seringkali berada di luar cakupan proyek. Selain itu, tidak hanya infrastruktur bekerja dalam suatu sistem jaringan terintegrasi, tetapi mereka juga berinteraksi dengan sesuatu yang dinamis, termasuk harapan dan preferensi para pemangku kepentingan. Oleh karena itu, strategi yang terlalu tertutup tanpa mengupayakan pengembangan secara sistematis akan menghambat integrasi infrastruktur, memungkinkan adanya hal-hal yang terabaikan dan mengganggu fungsi keseluruhan sistem.

Dengan mempertimbangkan perspektif sistem di atas, semakin penting rasanya untuk mengusahakan sistem terbuka dalam kolaborasi lintas organisasi untuk menciptakan proyek infrastruktur terintegrasi. Pendekatan ini juga akan membantu proyek infrastruktur dalam menangani kebutuhan dadakan yang muncul dari hasil yang tidak terduga dan memberikan waktu untuk refleksi. Selain itu, melalui konsultasi dan deliberasi terbuka, kesenjangan persepsi antara strategi dari pihak di atas (pemerintah/pengembang) dan penerimaan di bawah (masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya) dapat diatasi, memastikan keputusan tidak hanya untuk mendukung ‘winners’ tetapi dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan, termasuk ‘losers‘.

Atas apa yang telah terbangun sebelumnya, ada kalanya kita pun mengevaluasi. Apakah kita sudah melakukannya dengan benar? Tapi mana mungkin orang kita berani membuka lembaran masa lalu. Di sini, proses memeriksa selalu identik dengan mencari kesalahan orang lain yang berujung kasus hukum. Semangat itu terlalu dilebih-lebihkan, hingga kita lupa perlunya proses tersebut dalam memperbaiki praktik masa depan melalui pelajaran masa lalu. Sebab pada akhirnya, pengembangan infrastruktur adalah one-shot experiment, proses try again-nya adalah proyek lain setelah belajar dari proyek serupa.

Hasil Refleksi

Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam praktiknya, saya masih banyak menyepelekan hal-hal normatif namun tetap penting dalam membantu cara berpikir dan melihat masalah/solusi terbaik. Semoga dengan refleksi ini, semakin banyak yang bisa lebih mawas dan peka bahwa infrastruktur bukanlah tentang sukses membangun, tetapi sukses membawa perubahan dan memberikan rasa keadilan. Infrastruktur juga bukanlah produk satu bidang ahli di bawah naungan ‘anak teknik,‘ melainkan naungan lain yang bahkan tidak pernah terbayangkan sekalipun. Terakhir, infrastruktur akan selalu membawa kompleksitas dan berbagai konteks yang menyertai dalam tiap proses pengambilan keputusannya, sehingga alangkah baiknya proses ini perlu keterbukaan atas masukan dan pengambilan pelajaran untuk praktik masa depan yang lebih baik.

Jadi mungkin itulah mengapa kita diajarkan “Adab sebelum Ilmu.”