Pembangunan infrastruktur memang telah terbukti memberikan dampak dan merevolusi cara manusia menjalani kehidupan. Namun, di tengah euforia pembangunan infrastruktur yang melanda seluruh negeri, kekhawatiran para ahli dari berbagai belahan dunia semakin terdengar nyaring. Mereka mengungkapkan kekhawatiran terhadap berbagai proyek infrastruktur yang sering kali tidak sesuai dengan rencana waktu, jadwal, manfaat yang dijanjikan, bahkan mungkin keadilan yang seharusnya diwujudkan. Ironisnya, apa yang seharusnya menjadi tonggak kemajuan malah berubah menjadi bencana besar. Pertanyaan pun muncul, mengapa fenomena ini terus terjadi?

Umumnya, diskusi kegagalan proyek infrastruktur kerap dihubungkan dengan masalah teknis dan manajerial. Namun, arah diskusi berbelok tajam ketika tren menunjukkan bahwa akar permasalahan sebenarnya terletak pada faktor psikologis, seperti yang diuraikan oleh Bent Flyvbjerg berdasarkan teori peraih nobel ekonomi—Richard H. Thaler. Mereka menegaskan bahwa analisis apapun yang dilakukan oleh manusia selalu dipengaruhi oleh aspek psikologis karena manusia memiliki perilaku ‘unik,’ dan hal ini dapat mengacaukan proses pengambilan keputusan yang seharusnya rasional, terutama pada tahap awal proyek atau perencanaan infrastruktur.

Sesaat saya membaca penjelasan teori ini, saya langsung bisa yakin mengiyakan kebenarannya. Sebab saya pun bisa dibilang telah menjelma menjadi manusia di dunia infrastruktur, pengalaman—walaupun hanya empat tahun—sudah bisa membuktikannya. Saya kerap menyaksikan masalah ini sebagai akar permasalahan yang mungkin telah merayap dan merongrong hati serta pikiran para pejabat, insinyur, dan perencana infrastruktur. Namun, pada dasarnya, masalah ini dapat diatasi dengan mudah asalkan kita menyadari keberadaannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi saya untuk menyampaikan pembahasan ini agar pada kembali menyadari bahwa musuh terbesar kita sebenarnya adalah diri kita sendiri yang telah tercemar dan tersesat.

Bagaimana Tahapan Pengembangan Infrastruktur?

Sebelum membahas inti tulisan ini, kita harus memahami bahwa pengembangan infrastruktur melibatkan serangkaian tahapan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar melakukan penggalian tanah dan pengecoran beton, melainkan berbagai tahapan pengambilan keputusan, mulai dari perencanaan, pengadaan, pembangunan, hingga operasi dan perawatan. Tahap perencanaan menjadi fase yang sangat krusial dalam menentukan kesuksesan suatu proyek. Sebab pada tahap ini, banyak pertimbangan yang harus serius dipertimbangkan, seperti apa masalah atau tujuan yang ingin dicapai? Apa solusi terbaik dengan melihat manfaat dan biaya idenya secara menyeluruh? Mengapa membangun infrastruktur ini menjadi pilihan? Dan pertanyaan mendasar lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu harus dijawab dengan seksama oleh para pengambil keputusan sebelum memberikan persetujuan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni perencanaan yang lebih detail. Umumnya, konsultan perencana membantu mereka menyusun kesimpulan analisis data dalam bentuk Project Business Case/Feasibility Study/Proposal sebagai dasar pengambilan keputusan. Proposal ini umumnya menilai berbagai aspek secara holistik, tetapi umumnya ditekankan kepada aspek finansial dan ekonomi. Aspek finansial membahas potensi keuntungan dari investasi pembangunan infrastruktur, sementara aspek ekonomi menilai apakah proyek tersebut ‘worth it‘ atau tidak—dengan artian, apakah manfaat yang diberikan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Di Indonesia, seringkali aspek finansial diabaikan karena pembangunan infrastruktur publik dianggap sebagai kewajiban negara, bukan sebagai sarana investasi mencari keuntungan (namun beda cerita jika berbicara kerja sama swasta). Oleh karena itu, aspek ekonomi kerap menjadi penentu akhir. Jika aspek tersebut menunjukkan hasil yang tidak optimal, maka proyek infrastruktur tersebut dianggap tidak layak dan tidak perlu dilanjutkan.

Sekarang kembali ke inti masalah, bagaimana perilaku manusia bisa menjadi pemicu utama kegagalan pembangunan infrastruktur? Jawabannya terletak pada strategic misinterpretation dan planning fallacy.

Masalah Perilaku 1: “Strategic Misinterpretation

Perilaku pertama ini merujuk pada manipulasi informasi secara sistematis oleh para pengambil keputusan proyek infrastruktur untuk mencapai visi mereka. Fenomena ini dikenal sebagai strategic misinterpretation atau strategic bias, di mana para pengambil keputusan cenderung menganggap bahwa cara pandang atau strategi yang mereka anut adalah yang paling benar, dan hal ini menjadi dasar pembenaran untuk setiap langkah dalam pengembangan infrastruktur.

Contoh konkret terjadi ketika pejabat dan konsultan yang memiliki kecintaan terhadap kereta cenderung terus menghasilkan analisis studi yang mendukung klaim bahwa kereta merupakan moda transportasi yang paling optimal atas sebuah masalah. Kecondongan ini dapat memaksa pandangan bahwa solusi infrastruktur yang diinginkan oleh mereka lebih superior, baik dari segi manfaat dan biaya, dibandingkan dengan opsi alternatif, bahkan opsi untuk tidak membangun apa-apa. Walaupun cara ini sering dianggap lumrah sebagai noble lies para pemimpin, tetapi ini bisa menjadi berbahaya jika justru sampai menutup hati dari potensi kebenaran fakta data atau pendapat orang orang lain.

Penulis melihat bahwa kasus Bandara Kertajati mencerminkan dampak dari perilaku ini. Proyek ini sangat terasa sebagai ambisi pemerintah daerah untuk memiliki “bandara besar sendiri,” yang mengakibatkan perencanaan proyek yang tidak matang dan justru berakhir terkatung-katung lamanya sebelum diambil alih oleh pemerintah pusat. Setelah dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN), perencanaan dan konstruksi bandara pun dikejar untuk memenuhi ambisi nawacita pembangunan pemerintah baru saat itu. Meskipun proyek ini kontroversial dengan kendala ekonomi regional, kurangnya infrastruktur pendukung, dan ketidaktransparan rencana bisnis operasional, proyek ini tetap diteruskan dan diresmikan dengan megah. Kehadiran pesawat kepresidenan saat acara pembukaan menjadi simbol dimulainya kisah bandara yang kita tahu menjadi sangat sepi, mubazir, dan tidak bermanfaat.

Contoh di atas tidak dimaksudkan untuk menyalahkan pihak tertentu, melainkan sebagai pembelajaran atas kekurangan pengembangan proyek yang dapat diambil oleh semua pihak terlibat. Sistem pembangunan yang sering kali beralur pada menemukan masalah → memberikan ide solusi → menjustifikasi solusi → menyetujui dan membangun, perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Sebab, para aktor yang seharusnya berperan secara rasional dalam tahap perencanaan, seperti konsultan, seringkali berakhir hanya sebagai tukang hitung dan gambar, terjebak dalam Term of Reference (ToR) proyek yang sudah mengarah pada keputusan “harus membangun baru ini.”

Masalah Perilaku 2: “Planning Fallacy

Masalah perilaku kedua ditandai oleh kecenderungan untuk merencanakan masa depan dengan sangat optimis (optimism bias) dan mengabaikan risiko atau kompleksitas yang mungkin terjadi (planning fallacy). Perilaku ini dapat mengakibatkan perkiraan kondisi masa depan yang meleset dan berujung pada kegagalan dalam menilai kebutuhan dan skala infrastruktur yang sebenarnya dibutuhkan. Alhasil infrastruktur berakhir tidak efisien dan tidak benar-benar menjawab kebutuhan.

Sebagian literatur melihat perilaku ini sebagai konsekuensi dari tekanan yang muncul dari masalah perilaku pertama. Para perencana atau konsultan, cenderung dengan sengaja membesar-besarkan atau mengurangi beberapa hal untuk menciptakan kesimpulan perencanaan infrastruktur yang terlihat sangat menguntungkan di dalam laporan sesuai permintaan pemberi tugas agar proyeknya memperoleh persetujuan. Apalagi terkadang, pemberi tugas memiliki ambisi ingin mencitrakan keberhasilan politiknya melalui pembangunan infrastruktur besar dan mewah. Sebagai contoh, ada pejabat yang bercita-cita membangun “Masjid Terbesar se-Indonesia,” meskipun populasi dan kunjungan wisatawan di daerah tersebut terbatas, dan anggaran pun tak seberapa. Namun, demi ambisi tersebut, analisis perencanaan dipaksa disusun dengan cara yang mendukung klaim bahwa masjid tersebut akan menarik jamaat dari seluruh negeri, memberikan dampak pariwisata yang besar, semuanya dengan biaya yang terjangkau, bahkan berpotensi didanai dari investor. Namun, akhirnya, masjid tersebut hanya terbangun setengah rencana karena keterbatasan dana dan cepat rusak karena tidak mampu membiayai operasionalnya. Fenomena ini dikenal di Indonesia sebagai perilaku Agar Bapak Senang (ABS).

Perilaku kedua ini juga dapat muncul tanpa tekanan dari pemberi tugas, melainkan muncul dari diri sendiri untuk terus menciptakan proyek infrastruktur demi keuntungan pribadi (rent-seeking behavior). Sebagai contoh, dalam perencanaan potensial pembangunan jalan tol di suatu daerah, seorang perencana atau konsultan selalu memilih skenario yang paling optimis ketika menganalisis potensi pengguna jalan tol. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa rencana jalan tol yang sangat menguntungkan akan mendapatkan persetujuan dan pendanaan untuk dibangun, sehingga membuka peluang bagi si perencana atau konsultan untuk mendapatkan proyek lebih lanjut. Dengan banyaknya proyek infrastruktur, maka banyak pula aliran uang yang bisa mereka dapatkan. Walaupun banyak penelitian tidak mengiyakan teori ini karena minimnya bukti empiris, tetapi rasanya mudah bagi saya untuk membenarkan perilaku ini jika mengaca apa yang ada di Indonesia.

Delusi dan Tipu Muslihat

Perilaku-perilaku di atas seringkali disimpulkan sebagai akar penyebab tidak terpilihnya solusi terbaik untuk sebuah masalah dan justru yang terpilih hanyalah solusi yang terlihat baik secara teoritis di atas kertas. Dalam konteks ini, apa yang tertulis di atas kertas seringkali merupakan produk dari cara berpikir yang kurang jujur. Oleh karena itu, solusi perbaikan perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa pembangunan infrastruktur tidak sekadar menjadi wacana kosong, melainkan benar-benar memberikan manfaat yang berkelanjutan.

Lalu, langkah solusinya apa? Meskipun banyak literatur menyarankan solusi teknis dan manajemen, seperti memperhitungkan faktor optimism bias dalam analisis prediksi atau banyak melibatkan pemeriksaan pihak ketiga di sistem perencanaan, dan sebagainya. Namun apakah itu sudah cukup? Bukankah kita sedang berhadapan dengan masalah psikologi? Masalah perilaku manusia? Masalah yang saya pun pernah melakukannya tanpa disadari dan tidak diniatkan?

Kali ini saya justru lebih ingin menyuarakan agar kita, si pejabat, perencana, dan insinyur, agar bisa lebih merenungi fenomena ini dan sama-sama bertekad untuk mulai dengan memperbaiki diri sendiri. Sebab, jikalau kekurangan sendiripun tidak dihiraukan, kotor hati dan akalnya, bukankah semakin mudah kita tertipu nafsu, delusi, dan tipu muslihat duniawi sebagaimana penjelasan di atas?