Di era globalisasi yang semakin kuat, persaingan antar negara untuk membangun infrastruktur telah mencapai puncaknya. Jalan dan rel kereta dibentangkan, kota dan desa dihubungkan, danau-pun dibendung, semuanya dibangun dengan semangat kemajuan ekonomi, sering kali juga didorong oleh ambisi keuntungan finansial yang menggiurkan. Namun, di balik gemerlapnya proyek infrastruktur yang megah-megah, terselip pula berbagai isu yang mencemaskan: korupsi, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial. Semua ini tentu menimbulkan kekhawatiran etis yang mendalam.

Kekhawatiran etis? Memang ada hubungannya etika dan infrastruktur? Ada! Bahkan kalau dipikir-pikir, sebagai pribadi ‘orang timur’, saya merasa harusnya ajaran agama juga dimainkan dalam penyediaan infrastruktur seperti ini. Sebab, masalah-masalah yang disebutkan di atas bisa ditarik penyebabnya sampai ke tingkat cara pandang seorang individu kepada sesuatu yang baik dan salah.

Kenapa sih masih bawa-bawa agama di zaman sekarang? Jawabannya sederhana: saya menilai kita sekarang kewalahan dengan konsekuensi yang dihasilkan dari landasan etika yang kita buat sendiri (buatan manusia), terkhususnya dalam konteks pengembangan infrastruktur.

Di tulisan ini, saya akan bahas memangnya apa landasan etika yang kita pakai sekarang dan bagaimana etika berlandaskan agama seharusnya bisa berperan di pembahasan ini.

Infrastruktur Zaman Sekarang

Pertama-tama, penting untuk kita paham sifat pembangunan infrastruktur di zaman sekarang agar semakin kritis dengan isu-isunya saat ini. Sebenarnya, infrastruktur punya banyak definisi tergantung penggunannya, tetapi di sini saya pakai pemahaman umum di mana infrastruktur dikenal sebagai sistem dasar yang mendukung kegiatan ekonomi dan fungsi sosial. Artinya, ini bisa termasuk infrastruktur transportasi, energi, perairan, dan sebagainya.

Umumnya, penyediaan infrastruktur dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan dana dari pajak, seperti yang biasa dilakukan Indonesia sejak dulu. Tapi sekarang, trennya di berbagai negara sudah mulai berubah dan condong ke pengembangan infrastruktur yang bermitra dengan sektor swasta dan keterbukaan yang lebih besar terhadap keuangan internasional. Penyebabnya simpel: di satu sisi banyak yang merasa kita perlu bangun infrastruktur lebih banyak, tapi di sisi lainnya ketersediaan dana pemerintah sedikit, jadi ya harus cari sumber lain yaitu dari dana non pemerintah. Akibatnya, infrastruktur tidak lagi dipandang sebagai aset publik biasa, tetapi juga bisa dipandang sebagai investasi yang akan memberikan pengembalian yang stabil dan juga sebagai aset yang dapat diperdagangkan lebih mahal di masa depan seperti properti dan emas. Tulisan detail perihal refleksi pengembangan infrastruktur zaman sekarang pernah saya tuliskan di sini.

Infrastruktur dan Landasan Etika Utilitarisme

Seperti praktik lainnya, proses penyediaan infrastruktur harus didasarkan pada prinsip etika yang kuat. Proses ini termasuk dalam penilaian (appraisal) dan pembiayaan (financing) infrastruktur itu sendiri. Perihal kebutuhan landasan etika ini sudah sangat jelas, jarang ada perdebatan di kalangan akademisi maupun profesional. Di sini, etika dapat diartikan sebagai prinsip yang mengatur perilaku dan keputusan individu, membimbing kepada apa yang benar dan salah.

Jika kita melihat sejarahnya, ternyata landasan etika dalam pengambilan keputusan di pengembangan infrastruktur saat ini—termasuk di Indonesia—dipengaruhi kuat oleh teori etika utilitarianisme. Apa itu utilitarianisme? Paham ini didengungkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf terkenal dari Inggris (fun fact: jasad beliau diawetkan dan dipajang di student center kampus saya—UCL). Bentham percaya bahwa pemerintah harus mengejar keputusan yang memaksimalkan kebahagiaan kepada masyarakat secara menyeluruh dan sama rata, sambil meminimalkan rasa sakit. Kebahagiaan ini dapat berasal dari benda materi atau jasa yang memberikan kepuasan dan manfaat ekonomi—yang kemudian diistilahkan sebagai utilitas. Oleh karena itu, paham ini juga terkenal sebagai prinsip utilitas.

Dalam konteks infrastruktur, prinsip utilitas membangun pandangan bahwa infrastruktur terbaik adalah yang menghasilkan manfaat (benefit) terbesar dengan biaya (cost) terendah. Lalu, manfaat dan biayanya akan didistribusi secara merata ke seluruh masyarakat sehingga pada akhirnya akan menghasilkan kesetaraan (equality). Inilah yang kemudian menjadi landasan etika daripada metode analisis ekonomi di dunia perinfrastrukturan yaitu cost-benefit analysis (CBA). Metode ini sangat populer sekali di kalangan pemerintah seluruh dunia—baik di negara berkembang maupun negara maju—untuk mengevaluasi kelayakan infrastruktur dan sarana pegambilan keputusan.

Dalam praktik CBA, pengukuran manfaat dan biaya biasanya dilakukan dalam satu unit moneter tunggal pada satu waktu. Misalnya, dalam proyek infrastruktur transportasi, semua biaya yang dikeluarkan selama fase pengembangan diestimasi dan dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkan dalam satuan uang rupiah di nilai sekarang (present value) seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1. Seandainya sebuah proyek ditemukan dapat memberikan dampak buruk/biaya kepada pihak tertentu, dalam CBA, ini masih dapat diterima secara etis. Hal ini karena CBA juga sangat dipengaruhi oleh prinsip kompensasi Hicks-Kaldor-Scitovsky, yang menjelaskan bahwa memaksimalkan utilitas atau kebahagiaan atas biaya orang lain adalah sesuatu yang dapat diterima jika manfaatnya cukup besar untuk mengganti kerugian tersebut ‘secara teoritis’.

Contoh CBA di Proyek Infrastruktur Jalan Tol (Mouter et al., 2020)

Meskipun dua prinsip etis di atas—prinsip utilitas dan prinsip kompensasi—telah membentuk aplikasi utama CBA, namun keduanya juga dianggap berkontribusi pada masalah yang muncul saat ini. Salah satu kritik utama mengenai CBA adalah sifat ketidakadilan yang melekat di pahamnya. Sebagai contoh, menurut filsuf John Rawls di bukunya “Theory of Justice“, keadilan terhadap masyarakat yang sebenarnya adalah distribusi manfaat yang disesuaikan dengan kebutuhan (equity), dengan memprioritaskan kelompok yang terpinggirkan atau mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan sekadar memaksimalkan manfaat secara keseluruhan sama rata seperti yang diusulkan oleh utilitarianisme. Selain itu, kritik lain menyoroti kurangnya urgensi untuk mempertimbangkan dimensi yang lebih luas di luar utilitas manusia, seperti alam. Pengabaian ini sangat fatal, terutama mengingat ancaman terbesar saat ini adalah perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan. Bahkan sekalipun urgensi tersebut dimasukkan ke dalam CBA, praktik monetisasi (menilai dalam nilai mata uang seperti rupiah) bisa jadi menyesatkan. Kalau baca dari beberapa paper dan refleksi ke pikiran pribadi, memang ada beberapa hal seperti lingkungan/alam yang memiliki nilai intrinsik dan tidak dapat diperdagangkan di pasar riil. Akibatnya, aspek-aspek yang tidak dapat dirupiahkan/dimonetisasi dalam CBA sering kali menjadi asumsi subjektif atau dilakukan dalam analisis kualitatif terpisah, namun kesimpulannya sering kali diabaikan dari analisis CBA sebagai referensi pengambilan keputusan.

Proses monetisasi dalam aspek-aspek yang tidak pasti juga bisa menjadi bias, seperti proyeksi atau ramalan angka-angka di masa depan. Faktanya, paper-paper banyak yang membuktikan bahwa estimasi nilai manfaat dalam CBA cenderung dibesar-besarkan, sementara nilai biaya sering kali berakhir terlalu rendah. Peneliti di bidang ini seperti Bent Flyvbjerg juga mengemukakan kemungkinan bahwa hal ini yang dilakukan secara sengaja dengan praktik manipulasi atau ‘pilih-pilih’ aspek mana yang perlu dimasukkan ke dalam analisis, supaya hasilnya menunjukkan bahwa proyek yang didukungnya ideal. Flyvbjerg dkk menduga praktik ini dimotivasi pada asas ‘noble lies’, yang artinya berbohong demi kebaikan yang lebih besar. Ini sesuai dengan paham utilitarianisme yang terlalu menekankan benar salahnya perbuatan dilihat dari konsekuensi, bukan kepada tindakannya. Ini tentu masalah besar karena secara tidak langsung dapat mengikis etika individu dalam integritas, menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya transparansi karena takut terbongkar. Isu ini saya juga pernah tuliskan di sini.

Selain analisis ekonomi melalui CBA, pemilihan opsi infrastruktur terbaik juga umumnya mempertimbangkan keuntungan finansial untuk bisa menarik pendanaan dari berbagai sektor swasta. Meskipun bukan satu-satunya metode pengambilan keputusan investasi, sebagian besar mengandalkan metode financial modelling (FM) untuk menghitung opsi mana yang dapat menghasilkan pengembalian investasi yang lebih besar, terutama dibandingkan dengan keuntungan dari tingkat bunga deposito bank. Akibatnya, jika sebuah proyek infrastruktur tidak cukup layak secara finansial, pemilik modal secara logis akan mencari investasi alternatif, yang berpotensi meninggalkan beban keuangan kembali kepada pemerintah, di mana beberapa di antaranya (contohnya pemerintah daerah) mungkin saja mengalami kesulitan. Pada akhirnya, banyak dana mengendap dan hanya mengalir ke area-area yang sudah pasti menguntungkan, seperti kota-kota besar, dan memperparah disparitas ekonomi.

Perhitungan tingkat diskonto atau discount value dalam analisis FM dan CBA juga jadi bahasan kontroversial secara etis. Tingkat diskonto mengasumsikan bahwa uang di masa depan itu kurang berharga daripada uang saat ini, sehingga sering kali membuat infrastruktur yang menguntungkan dalam jangka panjang menjadi kurang menarik dan mempersulit investasi di daerah-daerah yang terpinggirkan. Sekarang, ada tren ethical investment yang mungkin saja berkembang akibat isu perubahan iklim, misalnya ‘obligasi hijau’ untuk infrastruktur hijau. Namun, dalam kenyataannya, karena investor mungkin menghadapi biaya lebih tinggi dan keuntungan lebih sedikit daripada investasi infrastruktur biasa (yang tidak hijau-hijau banget), mereka jadi menuntut insentif dari pemerintah seperti diizinkan untuk punya premi hijau—istilah untuk tarif lebih tinggi pada infrastruktur hijau. Kalau baca di salah satu blognya IMF, hal-hal seperti ini bisa terjadi saat tidak ada tujuan bersama, sehingga pelaku pembangunan terlalu memprioritaskan kepatuhan terhadap peraturan daripada prinsip moral, dan selalu dipandu oleh insentif keuangan daripada semangat kebajikan. Ini disebutnya sebagai ethical blind spot.

Keempat isu khusus ini—terlalu fokus pada utilitas, kebutuhan untuk monetisasi nilai non-pasar, praktik manipulasi dalam analisis, dan maksimalisasi keuntungan jangka pendek—dapat disimpulkan sebagai hasil dari pengaruh kuat dari teori etika utilitarianisme. Karena ini, saya selalu kepikiran “mungkin tidak ya, ada landasan etika yang bisa memberi panduan secara menyeluruh?” Sejauh ini, jawabannya masih selalu balik lagi ke ajaran agama, karena emang esensi agama kan emang menyempurnakan etika. Di dunia per-filsuf-an, ajaran etika berlandasan agama itu disebut sebagai Divine-Commands Ethical Theory dan mari kita bahas ini di bagian selanjutnya.

Infrastruktur dan Landasan Etika berdasarkan Agama

Apa sebenarnya Divine-Commands Ethical Theory? Ada chapter di buku “The Elements of Moral Philosophy” karya Rachels & Rachels yang menjelaskan ini. Jadi, teori ini menyatakan bahwa apa yang “benar secara etis” adalah apa yang “diperintahkan oleh Tuhan,” dan apa yang “salah secara etis” adalah apa yang “dilarang oleh Tuhan,” sehingga teori ini menyelaraskan etika dengan ajaran agama. Namun, menurut penulis buku ini, teori ini memunculkan dua pertanyaan dilema, sehingga bisa menjadi sulit untuk diterima. Pertama, mengapa etika harus diyakini diatur oleh Tuhan ketika tidak ada bukti akan keberadaan-Nya? Kedua, apakah tindakan itu benar karena Tuhan memerintahkannya, atau apakah Tuhan memerintahkan tindakan tersebut karena itu benar? Meskipun agama lain mungkin menawarkan respons yang beragam, saya bisa langsung menjawab pertanyaan itu menggunakan perspektif ajaran Islam.

Dari sepengetahuan saya, pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab melalui refleksi ide kosmologis. Pertama, Islam menegaskan bahwa setiap awal harus memiliki penyebab, termasuk awal keberadaan alam semesta, yang maka menyiratkan adanya ‘penyebab tak bersebab’—dan ini tidak mungkin ada selain yang disebut sebagai Tuhan (ada di Quran, 52:35; 112:3). Kedua, doktrin Islam menyatakan bahwa tujuan umum keberadaan manusia adalah untuk menjadi Khalifah atau wakil-Nya di bumi dan menjalani ujian melalui ibadah—dengan melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan yang salah (Quran, 2:30; 67:2). Jadi untuk membedakan yang benar dan yang salah, Islam percaya bahwa panduan etika dikirimkan melalui para nabi, dengan Nabi Muhammad diyakini telah menerima petunjuk paling utama, yang dikenal sebagai Al-Quran (kata-kata Tuhan). Selain itu, Islam juga memiliki sumber primer kedua yaitu Sunnah (ucapan dan tindakan Nabi Muhammad). Kemudian, mengakui kebutuhan akan detail dalam konteks yang berbeda, Ijmaa’ (konsensus para ulama) berfungsi sebagai dasar berikutnya. Perbedaan pendapat detail di dasar yang terakhir diizinkan untuk menghormati hak-hak individu dan kemampuan berpikir manusia, namun segala sesuatu harus didasarkan lagi pada sumber tertinggi, yaitu Al-Quran. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang benar dan yang salah sama-sama ditentukan dan diperintahkan oleh Tuhan, yang keberadaannya bisa dirasakan dengan merefleksikan perihal penciptaan alam semesta. Karena merasa percaya diri atas jawaban seperti ini, saya jadi bisa lanjut mencoba menghubungkan agama sebagai landasan etika yang dalam pengembangan infrastrukutr.

Dalam menanggapi prinsip utilitas dalam CBA, ajaran etika dalam Islam sebenarnya jelas tidak sejalan dengan prinsip itu karena dapat menyebabkan analisis tanpa empati, persaingan tak berujung untuk sumber daya yang terbatas, dan godaan untuk tindakan-tindakan yang terlarang hanya demi memaksimalkan utilitas. Meskipun konsep memaksimalkan kebahagiaan dalam prinsip utilitas juga ada dalam Islam, namun di sini ada perbedaan yang kontras. Sebagai contoh, Islam percaya bahwa dimensi waktu bagi manusia tidak berakhir dengan kematian mereka di dunia ini tetapi berlanjut ke kehidupan akhirat, di mana semua niat dan konsekuensi tindakan—termasuk terhadap makhluk/benda lain seperti alam—akan memiliki ‘nilai’ sampai saat di akhirat dan harus dipertanggungjawabkan dan dihakimi (Quran 99:7-8). Dengan konsep waktu dan kehidupan seperti ini, maka kebahagiaan terbesar dalam Islam adalah berhasil mencapai tujuan hidup di dunia (amanah menjadi wakil-Nya di bumi dan sukses melewati ujian hidup), dan dengan demikian mendapatkan berkah dari Tuhan (barakah). Dengan pandangan ini, etika Islam mendorong umat manusia untuk bertindak dan memilih opsi yang dapat membawa ‘kebahagiaan’ itu, secara lintas generasi dan lintas kehidupan, bahkan sekalipun jika itu membutuhkan pengorbanan utilitas atau penahanan diri untuk memenuhi keinginan pribadi.

Kebahagiaan versi Islam di atas pada akhirnya bisa terrefleksi pada praktik etis terkait penilaian dan pendanaan infrastruktur. Setelah baca beberapa paper dan melihat ke Quran lagi tentunya, dalam melakukan evaluasi atau penilaian terhadap opsi, ajaran Islam menyarankan bahwa kita, si para pelaku infrastruktur, harus:

  1. Memiliki kesadaran akan Tuhan (Taqwa) untuk dapat menghilangkan opsi yang dilarang—seperti tidak membangun infrastruktur khusus yang mendukung bisnis yang dilarang walaupun demi perkembangan ekonomi—dan menghindari tindakan buruk—seperti manipulasi, korupsi, dan perbuatan tidak adil (Quran, 8:29).
  2. Melakukan penalaran atau analisis (Ijtihad), tidak hanya dalam aspek teknis, ekonomi, dan keuangan, tetapi juga dalam berbagai aspek yang dapat membawa kebahagiaan versi Islam sebanyak mungkin—termasuk pertimbangan distribusi manfaat, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan (Quran, 2:267; 4:135; 7:56)
  3. Proses penalaran ini harus dilakukan atau dilanjutkan dengan berkonsultasi (Shura) dengan para ahli lain dan pemangku kepentingan terkait untuk menghasilkan keputusan yang kuat dan disepakati bersama (Quran, 42:38). Ini termasuk sidang publik dan diskusi tentang kompensasi atas kerugian orang (Quran, 5:45).
  4. Terakhir, berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan petunjuk (Istikhara) untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam analisis maupun pengambilan keputusan. Praktik terakhir ini merupakan salah satu pembeda dari prinsip utilitarian, karena kriteria keputusan dalam proses penilaian dan pengambilan keputusan tidak dipaksa untuk dimonetisasi atau dianalisis secara kuantitatif karena memang ada beberapa hal yang perlu diyakini ada di luar kemampuan manusia (Quran, 6:59; 2:216).

Secara keseluruhan, saya merasa bahwa ajaran etika Islam ini selaras dengan rekomendasi-rekomendasi praktik pengembangan infrastruktur yang selama saya ini saya pelajari di kelas dan baca dari berbagai paper. Sebut saja kebutuhan akan etika profesional, keterlibatan penilaian dampak sosio-lingkungan, perencanaan dengan sistem terbuka dan konsultasi, analisis keputusan berdasarkan multi-kriteria yang tidak selamanya kuantitatif, dsb.

Dalam hal investasi dan pembiayaan infrastruktur pun juga demikian. Meskipun Islam sangat mendukung perdagangan dan mendapatkan keuntungan, penahanan diri melalui pengorbanan utilitas demi kebahagiaan orang lain dalam prinsip ini juga bisa memainkan peran yang sangat kuat dalam mengatasi isu keempat (maksimalisasi keuntungan jangka pendek). Sebagai contoh, salah satu kriteria etis dasar orang yang dianggap mulia dalam Islam adalah yang memberikan Zakat—distribusi tahunan sebagian dari kekayaan total seseorang (minimal 2,5%) kepada delapan kategori orang (Quran, 9:60). Pada abad ke-7 hingga ke-16, prinsip ini menginspirasi inovasi investasi seperti asset endowment system (Waqf), di mana orang berlomba-lomba untuk menyumbangkan aset fisik mereka (misalnya, infrastruktur, properti, tanah) atau uang untuk membangun aset demi kepentingan publik. Setelah disumbangkan, tidak ada kesempatan bagi pemilik asli untuk mengklaim atau menjual aset tersebut. Meskipun sayangnya sistem Waqf mengalami penurunan pada abad-abad 16 dan selanjutnya, tren pertumbuhannya mulai terasa kembali saat ini di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat (IRUSA Waqf) dan Inggris (National Waqf Fund). Dana-dana ini juga mulai menargetkan infrastruktur ekonomi, dengan semua keuntungan dikembalikan untuk membiayai operasi aset dan untuk diinvestasikan kembali dalam aset yang berbeda.

Skema Wakaf di Infrastruktur Ekonomi (Islamic Relief, n.a.)

Di Malaysia, ada contoh Waqf menarik. Sempat ada pengusaha kaya Muslim di sana bernama alm. Ahmad Dajwee, yang saat meninggal menyisakan wasiat untuk mewakafkan asetnya berupa sebuah petak tanah prestis di tengah kota. Akhirnya lahan wakafnya dikelola sama pengelola resmi di Malaysia dan bekerja sama dengan developer untuk dibangun gedung perkantoran yang sekarang diisi oleh Bank Islam. Keren banget! Kalau kita punya lahan strategis kayak gitu, rasanya tidak mungkin untuk mau menyumbangkan cuma-cuma tanpa ada landasan etika atau motivasi berbasis agama.

Selain pengaruh memaksimalkan kebahagiaan melalui pengorbanan atau penahanan diri, sebenarnya ajaran Islam juga memperkenalkan aturan-aturan untuk menciptakan ekonomi yang lebih kuat, termasuk larangan mengambil keuntungan dari pemberian pinjaman uang atau tingkat bunga, berurusan dengan bisnis yang penuh dengan spekulasi, dan berinvestasi dalam bisnis yang melanggar hukum Islam (non-sharia compliant). Aturan-aturan mendasar seperti ini, kalau dibarengi dengan manajemen yang tepat dan lembaga-lembaga yang solid, tampaknya punya potensi untuk menjawab banyak masalah yang berkaitan dengan ketimpangan kekayaan, kesenjangan infrastruktur, dan maksimalisasi keuntungan jangka pendek.

Akhir Tulisan

Refleksi seperti ini menjadi sangat penting untuk melihat isu-isu pengembangan infrastruktur di zaman sekarang. Teori etika utilitarianisme yang populer saat ini dan digunakan dalam CBA dan FM ternyata banyak dikritik karena terlalu berfokus pada memaksimalkan utilitas, sehingga muncul kontroversi terkait topik keadilan dan aspek penting lainnya yang diperlukan untuk kehidupan manusia. Pengaruhnya juga dianggap berperan dalam mempromosikan praktik-praktik buruk sehingga membentuk moralitas manusia yang memprioritaskan perilaku pencarian keuntungan jangka pendek guna menghasilkan lebih banyak utilitas.

Rasanya, kebutuhan akan landasan teori etika yang lebih komprehensif benar-benar menjadi sangat perlu, ya contohnya seperti divine-commands ethical theory tadi, di mana etika didasarkan pada perintah Tuhan atau ajaran agama. Bukan hanya akan membimbing mana yang benar dan yang salah, ajaran agama juga memperkuat eksistensi etis yang didasarkan pada tujuan bersama umat manusia, yang lalu menghasilkan konsep kebahagiaan dan waktu yang berbeda, sehingga mempromosikan praktik etika yang lintas-generasi dan lintas-hidup. Pada akhirnya, landasan etika yang komprehensif seperti ini tidak hanya akan melindungi kehidupan sosial, hak, dan properti individu, tetapi juga satu-satunya planet tempat kita tinggal.

Meskipun tulisan ini hanya mencakup sebagian kecil dari topik yang bisa dibahas dari kedua sisi, pertanyaan seperti “Apakah sekarang saatnya untuk mempertimbangkan kembali etika infrastruktur yang komprehensif di luar pikiran manusia?” patut terus direfleksikan.