Tidak disangka. Kondisi yang dikira tidak akan ada, akhirnya telah datang. Tapi tidak apa, kapan lagi bisa ke pantai rutin kalau bukan di kondisi seperti ini.

~~

Jakarta itu sebenarnya kota paket lengkap. Kampoeng yang satu ini punya gunung-gunung di sekelilingnya. Sungai, pantai, laut bahkan kepulauan pun ada. Kalau yang lagi bosen dan ingin liat alam maka tinggal kesana.

Untungnya juga Jakarta masih punya Ancol, yang dari dulu punya pantai publik. Pantai yang di masa pandemik gini, didatengin para aki-aki nini-nini yang ingin terapi di air laut tiap pagi. Generasi mudanya pun gak kalah, subuh-subuh Ancol sudah penuh sama rombongan pesepeda bergaya. Niatnya sepedahan di pinggir pantai, tapi setelah liat pasir pantai Ancol yang kini bersih, akhirnya pada luluh juga untuk berendam. Maka jadilah seluruh golongan umur penghuni Kampoeng Jakarta sebagai penikmat pantai Ancol.

Ya begitulah kehidupan di sisi utara Kampoeng Jakarta. Betapa bahagianya orang-orang di sana, bersama keluarga, bersama pasangan, bersama siapapun yang baru disapa dan dikenalinya. Semua berendam di air laut yang sama asin dan dipercaya berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit. Walaupun di sekitar pantai masih saja banyak kapal solar yang bensinnya selalu bikin laut sedikit kotor. Tapi tidak apa, daripada tidak ada sama sekali.

Kunjungan ke pantai ini tidak akan menjadi yang terakhir, justru ini sebuah permulaan masa gaya kehidupan baru. Sudah waktunya tidak menjadi anak mandiri yang hanya mengurus diri sendiri. Kini saatnya melaksanakan pepatah para sesepuh Tiongkok, “Bǎi shàn xiào wéi xiān” yang artinya dari “sejuta kebaikan, berbakti kepada orang tua adalah yang diutamakan.”

Tapi sebenarnya sulit dipahami juga, berbakti kepada orang tua itu harus bagaimana? Apakah dengan menahan segala emosi, perasaan, pikiran, dan perbuatan yang dapat ‘menyakiti orang tua’ juga disebut berbakti?

Entahlah.