Kok terasa palsu? hidupmu itu loh Yed. Semua perbuatanmu, semua katamu, semua gerak-gerikmu, semua outfitmu, semua postinganmu, semua profile picturemu, pasti kamu rencanain di atas kertas kan?

Saat kamu tau temanmu akan menjadi artis dadakan, buru-buru kamu ganti foto profile bersama dia. Saat berbincang sekalipun, kamu pasti memikirkan apa yang sedang dirasakan orang lain untuk selanjutnya menjadi jalan masuk dirimu ke dalam pikirannya. Apalagi saat fase hidupmu dibuat sedemikian rupa supaya orang melihatmu luar biasa padahal sebenarnya sangat biasa.

Termasuk tulisan ini, pasti kamu buat dengan ada maksud di belakangnya.

~~

Maaf semua. Jangan salahkan diriku, salahkan lah buku ini; Life by Design. Yang cover belakangnya tertulis kontras sebuah kalimat dari pembisnis terkemuka Jim Rohn. Katanya begini “If you dont design your own life plan, chances are you will fall itu someone else’s plan. And guess what they have planned for you? not much.”

Ku terdorong dari sana untuk menjadi sang life planner. Yang kebetulan berlanjut kerja sebagai project planner. Yang wajar kalau sekarang jadi se…

Duh.

Life planner di sini bukan berarti orang yang membullshitkan semua apa yang bisa dibullshitkan. Aduh kasar, mari tulis ulang. Life planner di sini bukan berarti memanipulasi semua apa yang bisa dimanipulasi agar semua menjadi sesuai rencana. Melainkan adalah orang yang akhirnya merancang bagaimana tujuan akhir dan jalannya bisa tercapai.

Tujuan akhirmu apa yed? Easy, golonganku punya jawaban yang sama. Tanya saja mereka.

Sebelum mencapai tujuan akhir itupun sebenarnya ada tujuan-tujuan kecil lainnya. Analogi tujuan akhir itu terminal, sedangkan tujuan kecil lainnya itu halte. Untuk pergi ke terminal pasti kita akan melewati berbagai halte. Tiap rute atau halte pun akan menawarkan kondisi yang berbeda. Dan di sanalah seluruh ‘hidup di atas kertas’ bekerja. Kita memilih mau jalan rute yang panjang, naik turun, tapi pemandangan dan udaranya sangat bagus. Atau memilih jalan rute yang super cepat tapi sangat mahal. Atau memilih rute bagaimana?

Tidak cukup hanya di menentukan rute dan halte. Kita masih ada PR tentang mengetahui kita berada sedang di mana. Atau dengan apa kita akan membayar. Atau tampil seperti apa agar diterima masyarakat sekitar halte. Atau bahkan bersama siapa.

Apa ini justru menyiksa diri? entah lah, sampai saat ini terasa sangat seru.

Apalagi kalau sampai kita salah turun halte karena ketiduran. Tidak sengaja kita akan menemukan halte-halte baru. Yang memberikan kesempatan kita untuk belajar daerah baru, kenal orang baru, dapat pemahaman baru dan mungkin rute baru.

~~

Jadi begitulah. Gegara buku itu semua hal menjadi terencana. Untuk yang mendetail sekalipun. Demi tujuan akhir. Tujuan golongan kita bersama. Kita bersama yang baik.

*Dua paragraf pertama hanyalah sebuah ekspresi takut. Ketakutan di saat orang lain melihat demikian di diriku. Walau seharusnya itu tak perlu dipikirkan.

*Ada kalanya life planner mengalah untuk hidup di luar rencana sendiri. Terlebih kalau The Best Planner sudah menawarkan yang lain.