Tak apa berpuisi indahnya rembulan. Atau hangatnya pelukan mentari. Tapi sekali-kali ku ingin merangkai kata akan nikmat yang juga tak kalah spesial. Terlebih, kampoeng plus para penghuninya seperti sedang haus menanti

~~.

Seminggu lalu hujan. Suara jatuh airnya berisik. Tak sengaja mengusik diri yang lelah dalam tidur. Kaget bukan main! JAKARTA HUJAN. Langsung keluar tanpa mikir. Tak peduli atasan masih berbatik. Celana masih menggulur panjang. Wajah masih setengah beler. Yang penting bisa merasakan hujan.

Ohh hujan. Ku berdiri di tengah-tengahmu. Tak ada insan lain melakukan serupa. Di jalan malam hanya ada diri menyepi. Sendiri ku nikmati tiap detiknya. Walau kutahu ini hanya rintik-rintik.

Ku tatap ke langit. Lampu jalanan menampakkan bayanganmu. Dibiarkan air itu terjun langsung menghantam wajah kusam ini. Mengalir perlahan di tiap kerutan orang penuh keluhan. Ku usap sekali wajah dengan air pemberian-Nya. Hamdallah hamdallah. Ku usap sekali lagi. Hamdallah hamdallah. Ku usap lagi terus menagih.

Berdiri heran, seorang ayah sedang kebingungan di depan halaman sana. Seakan berpikir ada apa dengan anaknya? Kesurupan, tidak. Diterima cintanya, tidak. Lalu apa? Karena hujan?

Ya sebenarnya memang karena hujan.

Semenjak menjelma jadi penghuni kampoeng hutan beton. Semua yang ‘alami’ terasa sangat dirindukan. Yang Segar. Dingin. Manusiawi. Tetiba hilang saja dari kehidupan. Maka wajar jika tiap tetesnya kini seakan mengembalikan spirit insan diri.

Ku jadi teringat, betapa bahagianya masa kecil dulu. Di saat tiap hujan turun, the little fayed langsung menjemput teman-temannya untuk bermain. Dulu belum ada snapgram, atau whatsapp. Kita berlari-larian menembus air terjun dari atap seng. Mengunjungi rumah satu persatu. Mengundang teman satu persatu. Sebagian diizinkan orang tuanya. Sebagian justru diumpetin, agar tidak sakit ceunah. Ah ada-ada saja, wong ini air turun langsung dari langit.

Badan mungil waktu itu masih enak dibawa masuk kemana-mana. Termasuk selokan depan rumah. Setiap hujan deras, selokannya akan mengalir hebat. The little fayed and the gengs menyiapkan kardus atau karung atau bahkan tanpa apapun, dan langsung meluncur disana. Dibiarkan terbawa oleh gravitasi. Hanyut dalam galak tawa.

Air yang cokelat pekat itu masih ada dalam memori. Kini selalu membangkitkan pertanyaan: bisa-bisanya kamu dulu main seperti itu. Yah, namanya juga anak kecil. Apalagi didukung lingkungan temannya. Kata jorok tidak populer di kamus kehidupan bocah di sana.

Sekarang, semua sudah beda. Boro-boro badan ini mengalir di sana. Air saja sudah susah mengalir. Tertahan oleh benda-benda yang kala itu sudah mengancam. Lingkungan pun tumbuh dewasa. Banyak pendatang. Berarti banyak orang baru. Juga berarti banyak cara bermain baru. Sialnya, the little fayed tak hadir dalam pembaharuan itu. Waktu di sekolah dan kuliah benar-benar menyita. Tak ada kesempatan lagi untuk bermain di lapangan. Apalagi sampai harus liar seperti itu. Hasilnya gap pergaulan 10 tahun. Tentu bukan hal sepele.

Kini gap tersebut menjadi pembenaran. Bahwa wajar jikalau memang hanya aku sendiri yang menikmati hujan-hujanan di tengah malam. Karena diriku yang dulu bukanlah yang sekarang. Demikian pula teman rumahku

Tapi semoga. Dengan amat sangat semoga. Perpisahan dengan teman kampus, tak menjadikan ku sendiri dalam menghadapi naik-turun lika-liku perjalan menjadi sesungguhnya diri. aamiin. . . Foto cover oleh Elshinta. Btw ini ada bonus serunya ujan-ujanan. hehe

View this post on Instagram

Biar Baby 🐻 ketularan cintahujan 💛

A post shared by cintahujan (@cintahujan) on