Akan tiba masanya di saat kita merasa tinggi akibat ilmu yang dimiliki. Dan semoga tiba masanya di saat kita sadar diri akibat ilmu yang tidak dimiliki.
~~
Ada sebuah hari yang bisa dibilang cukup beruntung, hari di saat saya melihat sebuah story Instagram salah satu teman. Di sana terlihat dia sedang memasukkan koleksi bukunya ke koper saat mau pindahan. Sontak saya nyeletuk supaya bisa dipinjamkan salah satunya. Di sana ada buku Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang memang paling menonjol. Kebetulan video di internet juga baru saja memperkenalkan ‘teori peradaban’ terkenalnya beliau. Jadilah rasa keinginan baca buku itu timbul. Alhasil si teman ini langsung mengirim buku seribuan halaman itu ke saya.
Sambil menunggu kiriman, saya sempat penasaran dengan sosok Ibn Khaldun. Ringkasnya, beliau seperti manusia dengan 1001 pemikiran. Lahir di dunia kerajaan Islam pada awal abad 14 dan tumbuh sebagai yatim piatu setelah orang tua dan para gurunya meninggal akibat pandemi ‘Black Death’. Beliau dikenal sebagai sosok politikus yang tidak loyal karena kerap tidak sejalan dengan para raja di zamannya–yang menurut beliau sudah mulai menyimpang dari ajaran. Ibn Khaldun telah menjadi saksi saat kerajaan-kerajaan besar mengalami kemunduran drastis dan kerajaan-kerajaan kecil mengambil kesempatan berkembang drastis. Gonjang-ganjing dunia dan hidupnya memberikan beliau inspirasi untuk menuliskan salah satu karya besarnya ini selama setengah tahun. Karya Muqaddimah ini dibuka dengan kalimat basmallah dan sebuah deklarasi bahwa dirinya adalah seorang hamba yang sangat membutuhkan rahmat dari Sang Penciptanya.
Lucunya, buku ini berhasil masuk daftar rekomendasi bacaan Mark Zuckerberg (if you know what I mean). Wajar kalau dipikir. Melihat daftar isi bukunya saja sudah bikin geleng-geleng kepala, dalam artian kagum tentunya. Karena variatif sekali topiknya untuk sebuah ‘buku pembuka’ dari buku aslinya.
Di lembaran-lembaran awal, Ibn Khaldun kerap memberikan banyak kritik terkait penulisan sejarah pada zamannya. Beliau mempermasalahkan metode dan ketidakseriusan para penulis. Namun, di sisi yang lain beliau juga mewajarkan. Kenapa? karena beliau mawas diri dan sadar betul bahwa manusia hanya diberikan ilmu sangat sedikit dari ilmu yang ada pada dunia ini. Dia menuliskan seperti ini:
“Ilmu itu sangat luas dan para ahli hikmah di tengah manusia juga banyak. Ilmu yang tidak sampai kepada kita lebih banyak daripada yang sampai kepada kita. jika tidak percaya maka di manakah ilmu orang-orang Kildan, Saryan, dan Babilonia serta hasil-hasil pencapaian mereka? Di manakah ilmu orang-orang Mesir dan orang-orang sebelum mereka? Yang sampai kepada kita hanya ilmu satu bangsa, yaitu bangsa Yunani. Itupun karena Al-Makmun gigih dalam usahanya menggali ilmu-ilmu tersebut dengan cara menginsentifkan para penerjemah dan menyediakan anggaran yang cukup besar. Kami tidak menemukan ilmu-ilmu selain dari mereka.”
Menarik bukan?
Sesaat setelah membaca bagian itu saya jadi teringat cerita Adam Duff–guru seni jauh di Amerika sana. Si Adam ini punya hobi untuk membuat ilustrasi makhluk dan monster mistik dari cerita rakyat zaman dulu. Suatu waktu dia perlu melakukan riset singkat dan membuat daftar referensi ilustrasi-ilustrasi makhluk dan monster mistik ini. Di akhir riset, dia mendapatkan 15 referensi terbaik dari segi tingkat kerealistisan cerita, latar, bentuk, dan sebagainya. Namun tetiba dia kaget saat tau 12 dari 15 referensi yang dia telah kumpulkan ternyata adalah cerita pada sebuah game–The Witcher 3, game terbaik tahun 2015.
Maksud kaget Adam Duff di sini adalah, kini sebuah perusahaan game bisa seniat itu untuk meriset, mengkhayal, menggambar, dan menulis ulang banyak ‘cerita rakyat’ untuk sebuah game yang dibuatnya. Sehingga dia tidak akan heran jika 30 tahun kedepan, orang-orang akan percaya bahwa cerita dari game ini akan dianggap sebagai ‘cerita rakyat’ yang otentik. Adam Duff akhirnya agak bingung juga membedakan akan ‘cerita rakyat’ yang orisinil dan yang hasil modifikasi perkembangan zaman. Ilmu dan pengalaman riset seninya seakan-akan tiba dibenturkan dengan realitas zaman yang semakin mengaburkan ilmu-ilmu lama dengan ilmu dan metode baru.
Ini sejalan dengan prinsip Ibn Khaldun bahwa ilmu itu sangat luas bercabang-cabang. Cabang utama ilmu yang dijelaskannya adalah Ilmu Tradisional (Agama) dan Ilmu Rasional (Dunia). Dari sana terus bercabang semakin luas dan beragam.
Berbicara tentang ilmu, saya selalu suka dengan ilmu yang memiliki tingkat keistimewaan. Bagaimana maksudnya itu? Simpelnya adalah ilmu yang tidak dimiliki hampir seluruh orang kecuali beberapa manusia pilihan. Spesial itu contohnya ilmu ‘ghaib’ atau ilmu ‘melihat’ atau bahkan ilmu berpikir melompati zaman.
Salah satu contoh dari ilmu berpikir melompati zaman adalah yang dimiliki pemimpin hebat dengan julukan Amirul Mukminin–Sang Khalifah Umar bin Khattab. Jadi sewaktu pasukan Islam berhasil menguasai Mesir, Sang Khalifah mengirimkan surat perintah kepada Gubernur Amr ibn Al-Ash.
“Gambarkanlah kepadaku bagaimana lautan itu!” Perintah Sang Khalifah. Lalu dibalas oleh Sang Gubernur “Laut adalah makhluk yang sangat besar yang di atasnya makhluk-makhluk kecil berlayar, seperti ulat berada di atas kayu.” Mendengar balasan itu, lalu Sang Khalifah melarang pasukan umat Islam untuk pergi berlayar. Akhirnya tak seorang pun berani lagi mengarungi lautan kecuali beberapa orang yang bersikeras namun berakhir pada hukuman.
Saya yang sebagai anak Teknik Kelautan dan membaca ceritanya pertama kali langsung terheran-heran. Menggerutu dalam hati “apa pula ini?!”
Cerita berlanjut dan beberapa tahun kemudian lamanya, barulah pasukan umat Islam diperbolehkan untuk berlayar di lautan lepas. Hal ini bukan semata-mata Sang Khalifah Umar sudah tidak lagi menjabat sebagai pemimpin, namun karena pemimpin umat Islam jauh selanjutnya sudah bisa percaya diri dengan ilmu dalam memerintahkan pasukannya berlayar ke lautan yang luas dan beringas itu.
Ya. jadi sebelum larangan itu keluar, Sang Khalifah Umar berpikir bahwa pasukan umat Islam masih belum memiliki ilmu terkait laut dan pelayaran. Ini akan menjadi perkara yang sangat buruk jika berlayar di lautan yang saat itu sudah dikuasi oleh bangsa Romawi dan Persia. Makanya Sang Khalifah melarang keras. Tapi selanjutnya beliau tidak tinggal diam. Perkembangan kekuasaan pasukan umat Islam saat itu sudah cukup kuat untuk menggaet para ahli-ahli kelautan dan perkapalan dari kerajaan lain untuk menyumbangkan ilmunya kepada pasukan umat Islam. Maka terjadilah transfer ilmu besar-besaran hingga akhirnya pasukan umat Islam tumbuh menjadi poros maritim dunia yang baru.
Kalau dipikir, untung keputusan Sang Khalifah terkait larangan berlayar itu tidak ditentang keras oleh rakyatnya. Mungkin karena pada zamannya masih tersisa umat Islam terbaik, yang tentunya paham sekali dalam menyikapi hal-hal yang membutuhkan ilmu di dalamnya, apalagi butuh ilmu ‘berpikir melompati zaman’.
~~
Setiap membaca tulisan terkait segala perilmuan ini saya jadi merasa kecil bukan karuan. Tapi mungkin memang ini sudah takdir manusia dari Sang Penciptanya.
Perbedaan ilmu yang diturunkan pada tiap zamannya akan membentuk pola berpikir yang cek-cok jika hanya dilandasi ilmu terbatas pada zamannya tersebut. Bahkan Sang Pencipta manusia telah memberikan contoh kasus pada salah satu Kitab-nya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (Quran Surah Al-Isra:85)
Maka tidak aneh jika hal-hal yang supernatural, penuh mistis, ghaib, dan tidak nampak akan dianggap sebagai khayalan dan dongeng belaka. Hingga akhirnya apa yang tidak masuk akal pada ilmu zamannya akan dijadikan bahan olok-olokan.
Sungguh, itu bisa menjadi ujian bagi manusia yang senantiasa berusaha tetap rendah diri karena sadar bahwa ilmunya bukanlah apa-apa.