Ada banyak pertanyaan terlontarkan ke seseorang dan banyak pula jawabannya yang terkenang. Terlebih semakin kesini, semua seperti saling berkaitan dan menguatkan. Kayak, sedang ada sesuatu di depan nanti, yang solusinya ada di jawaban-jawaban tersebut.

Pertanyaan pertama, waktu itu ke teman yang merupakan anak ke dua dari empat saudara. “Pernah gak merasa lebih berilmu dan dewasa di keluarga sendiri?” Jawab dia tidak bertele-tele, tidak berbohong pula “iya pernah,sering.” Dia lanjut menjelaskan bahwa walaupun begitu, masih suka ada masanya di saat ternyata dia yang tidak lebih benar daripada orang tua atau saudara-saudaranya. Intinya manusia juga bisa khilaf walaupun berilmu.

Pertanyaan kedua, waktu itu pertanyaanku ke seorang ustadzah. Aku sengaja bertanya ini, karena ingin tahu perspektif perempuan. “Seandainya perempuan menikah dengan pria yang menurut dia lebih rendah dalam segi ilmu, harta, keluarga, dan keindahan fisik, apa yang biasanya dipikirkan oleh perempuan?” Jawaban ustadzah ini Alhamdulillah sangat membuka jendela pemikiran. Dia menjawab “Bisa ada dua kemungkinan; pertama, perempuan itu akan menjadi dominan dan tidak merasa butuh ada sosok pria di sampingnya.” Jawaban selanjutnya menurutku sangat epik. “Kemungkinan kedua adalah berhubung perempuan itu berilmu, seharusnya dia menjadi paham peran dan posisinya sebagai istri. Dia justru akan relatif mencari-cari cara dalam menyeimbangkan. Misalnya menggali kelebihan suaminya yang merupakan kekurangan dirinya.” Jawaban yang netral dan menyejukan. Intinya manusia pasti akan saling melengkapi.

Pertanyaan ketiga, waktu itu pertanyaanku lagi ke seorang kakak tingkat. Kali ini pertanyaannya adalah kebalikan dari pertanyaan kedua. “Bagaimana menurut kakak kalau aku menikah dengan perempuan yang lebih rendah ‘level’nya daripadaku?” Jawabannya dia tidak langsung to the point, diiringi dulu dengan dorongan berkontemplasi. Emang si kakak tingkat ini tipe pemikir ulung. “Definisi di atas atau bawahmu sangat relatif. Lihat orang seperti di bawah kita itu karena pandangan kita yang merendahkan, entah itu karena tidak tahu kelebihannya atau emang merasa diri tinggi aja.” Luar biasa! Setelah ditunggu jawaban lanjutannya… tidak ada. Secara implisit, dia hanya menyuruhku untuk berpikir lagi tentang pertanyaannya–yang menurutnya salah. Intinya memandang kualitas manusia tidak bisa sekaku itu.

Tunggu, lebih baik istirahat sebentar. Tiga pertanyaan di atas ku dapatkan beberapa bulan lalu sebelum ku melakukan hal yang besar. sangat besar. Kalau kata Donald Trump “tremendous”. Apa hal itu? rahasia. Pokoknya karena itu, jadi ada orang yang lulus kuliah tepat waktu empat tahun. Sebab itu pula, akan ada orang yang sangat merenungi jawaban pertanyaan selanjutnya.

Pertanyaan keempat, pertanyaan terakhir, dari seorang ibu-ibu ke tokoh agama dari Blitar, Ustadz Buya Yahya. Pertanyaanya simpel tapi cukup krusial “Apa ciri-ciri wanita sholehah dan ciri-ciri pria yang siap menikah?”. Jawabannya dirangkap menjadi satu, saling berkaitan satu sama lain. Sepanjang 10 menit pertanyaan itu dijawab. Tapi poin terpenting dari Buya Yahya adalah bahwa pria akan pantas menikah saat dia telah sholeh. Begitu juga dengan perempuan. Definisi dari sholeh-sholehah di sini adalah siap untuk terus berubah lebih baik. Kata kuncinya adalah insaf, yaitu sadar akan kekeliruannya dan bertekad akan memperbaiki dirinya. Karena tiada guna jikalau diri telah merasa berilmu, berakhlak, berharta, dll. Tanpa insaf, rasa sombong akan tumbuh. Kalau sudah sombong, pasti akan merendahkan orang lain. Sudah menganggap pasangannya lebih rendah ‘level’nya adalah contohnya. Akhirnya mudah menolak akan sebuah nasihat. Susah menerima akan dorongan kebaikan. Tidak ada lagi guna segudang ilmu karena hanya menjadi sebuah teori. Tidak ada manfaat sejuta kali terbentur karena akhirnya tidak terbentuk.

Itu banyak pertanyaannya. Paham kan intinya? apa benang merahnya? bagaimana maksudnya? Siapa yang merenunginya?

~~

Memang, sombong itu menggerogoti hati dan pikiran orang. Kehadirannya sangat samar padahal cirinya mendasar; merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri. Bukan hanya ada di kata-kata tetapi juga ada di kepala-kepala.

Kalau sudah seperti ini, ku jadi lebih baik terus merasa diri bodoh dan terus merasa bodoh. Kamu pun seharusnya juga begitu.