Reklamasi Teluk Jakarta itu unik bin ghaib. Drama proyek ini tidak selesai-selesai. Sekalipun kita mau mengikuti ceritanya, pasti jadi pusing. Karena yang ada adalah saling menyalahkan bukan saling menyelesaikan. Penjelasan proyeknya pun tidak pernah jelas mana yang benar, mana yang konspirasi. Nah yang kutulis ini tentu masuk ke kategori konspirasi.
~~
Rencana proyek Jakarta ini sebenarnya eksis karena keberadaan mega proyek lain. Maksudnya, reklamasi teluk Jakarta hadir karena ada proyek NCICD. Apa itu NCICD? NCICD adalah singkatan dari National Capital Integrated Coastal Development. Kalau diterjemahkan, itu adalah pengembangan integrasi kawasan pesisir (calon mantan) ibukota Indonesia. Biasa dikenal dengan proyek Tanggul Raksasa Teluk Jakarta. Pemerintah Belanda lewat konsultan-konsultan jagoannya lah yang bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Kampoengku Jakarta untuk merencanakan mega proyek itu.

Jadi, NCICD sepakat dibangun untuk mencegah tenggelamnya Jakarta. Isu ini sudah ada sejak dulu. Tanah Jakarta terus turun, terutama di bagian pesisirnya, di daerah “Kepala Naga”. Turunnya pun gila-gilaan, kalau dalam angka katanya hingga 14 cm tiap tahun. Tapi kalau sudah pernah melihat langsung kondisinya di Pluit bagaimana, mungkin sudah cukup untuk bikin ‘jiper’. Kondisi diperparah oleh keberadaan ancaman tinggi gelombang dari laut. Akhirnya tidak aneh kalau hampir setiap laut pasang, airnya masuk ke daratan.
Selain itu juga ada pertimbangan bahwa kondisi pesisir saat itu sangat tidak mencerminkan wajah ibukota sebuah negara yang elok nan indah. Semua orang asing dan aseng yang ingin ke Indonesia biasanya masuk lewat gerbang-gerbang strategis. Kalau masuk lewat udara, maka mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng yang otomatis pemandangan jendela luarnya adalah pesisir Jakarta. Kalau masuk lewat air, maka merapat di Pelabuhan Tanjung Priok yang otomatis pemandangan dek luarnya adalah pesisir Jakarta. Kalau masuk lewat darat, maka orang asing ini sedang membodohi dirinya sendiri, karena yakali naik mobil ke Indonesia. Jadi sudah sewajarnya kalau manusia akan menilai sebuah tempat dari hal yang pertama kali diliatnya. Kalau asing dan aseng ini melihatnya kumuhnya pesisir Jakarta, ya mungkin langsung terbentuk pandangan negatif sebelum menjelajah lebih. Harapannya dengan adanya NCICD, pesisir Jakarta akan terkesan lebih bagus.

Atas kedua dasar itu, NCICD menyiapkan rancangan dua tanggul raksasa. Satu, tanggul di sepanjang pesisir pantai, sebagai proteksi utama. Dua, tanggul di tengah laut, sebagai proteksi tambahan. Kedua tanggul itu direncakan akan memiliki fungsi lain daripada hanya sebagai proteksi.
Contohnya, tanggul pesisir pantai akan memunculkan area baru sebagai sarana waterfront, tempat bisnis, trek pejalan kaki yang terintegrasi dengan berbagai titik pariwisata, dan lain-lain. Kalau tanggul di tengah laut itu diharapkan agar dapat menjadi alternatif jalur tol baru selain Tol Lingkar Dalam Kota yang setiap hari selalu padat.
Menarik sekali kan? kalau yang ini terbayang jelas manfaatnya apa. Seluruh elemen masyarakat pun bisa merasakannya. Tapi lalu pertanyaannya, kaitan dengan reklamasi bagaimana?
Jadi memang betul NCICD dan proyek reklamasi Teluk Jakarta itu berbeda. Wong satu bikin pulau, satu lagi bikin tanggul. Namun setelah perkiraan biayanya diestimasi, NCICD ini membutuhkan dana hingga 600 TRILIUN RUPIAH. Angka yang fantastis! Walaupun realistis bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita, tapi Indonesia bukan hanya Kota Jakarta. Kecemburuan sosial daerah lain bisa meledak. Akhirnya dipikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu dan jawabannya adalah dengan
I N V E S T A S I
R E K L A M A S I
Seperti yang kubilang di tulisan sebelumnya. Membuat tanah dengan reklamasi itu murah jika dibandingkan dengan harga jual tanah propertinya. Apalagi di kawasan kepala naga, pasti laku. Karena itu juga mungkin muncul iklan penjualan unit properti sampai ke negeri tirai bambu. Karena memang mereka pasarnya. Dari keuntungannya yang pasti besar itu, nanti bisa dibagi-bagi. Sebagian untuk pengembang, sebagian untuk pendanaan NCICD. Sekali lagi reklamasi tidak seburuk yang dibayangkan, dan tidak seindah pula yang dikonsepkan. Semua tergantung niat. Semua tergantung konstruksi. Semua tergantung politik.

~~
Pilkada gubernur Jakarta meledak. Isu pro-kontra reklamasi ini dibawa-bawa. Digoreng bareng-bareng. Masyarakat sebagai minyaknya, ***** sebagai kompornya. Ternyata yang seakan-akan pro kalah pilkada, yang seakan-akan kontra menang terpilih. Distop lah itu reklamasi, padahal beberapa sudah hampir rampung. Pengembang kewalahan. Investor panik. Tim perencana NCICD bingung, tapi bukan karena dana nya tidak jadi ada, melainkan karena stigma yang akhirnya muncul di masyarakat bahwa reklamasi itu buruk dan NCICD sama buruknya dengan reklamasi.
Terlebih, gubernur yang terpilih sudah terlanjur berjanji tolak relamasi selama masa kampanye. Akhirnya segala hal yang terdefinisi sebagai reklamasi pasti terpaksa dihindari olehnya. Padahal secara teknis, pembangunan tanggul di tengah laut itu juga reklamasi. Bangun tanggul di pantai juga akan memunculkan tanah reklamasi. Ancol dan Pelabuhan Tanjung Priok pun saat itu sedang mereklamasi.
Sepertinya ada yang perlu beli paracetamol, untuk menyembuhkan pusingnya kepala naga, atau ternyata hanya pura-pura pusing.