“Berpikirlah untuk Tiga Keturunan”
Itu pepatah Cina. Yang dipegang kebanyakan mereka untuk selalu menjaga nasib keluarganya. Yang akhirnya jarang pada main-main dalam ‘bermain’. Apalagi merencakan hidup. Termasuk rencana di mana mereka harus tinggal atau berbisnis.
Mereka biasanya mencari “Kepala Naga”. Itu istilah untuk sebuah kawasan bisnis atau hunian yang penuh hoki. Letak kawasannya pun diyakini harus di ‘kepala’ dari sebuah naga yang badannya berlikuk-likuk. Tau yang berlikuk-likuk seperti naga itu apa? ya sungai. Kepala Naga itu adalah kawasan menguntungkan–menurut Feng Shui–yang letaknya di dekat muara sungai dan biasanya ada di pesisir pantai. Di Jakarta ada? ya tentu, besar malah. Liat saja kawasan di mana mereka menjadi mayoritas. No rasis, hanya mo nulis.
~~
Jakarta Utara. Sebuah kota yang daerahnya membentang secara horizontal dari sebelah barat Jakarta di Muara Angke dan Kapuk hingga sebelah timur Jakarta di Kalibaru dan Cilincing. Pada zaman Batavia dahulu, pusat kota itu ada di Jakarta Utara tepatnya di Kota Tua untuk sebutan zaman sekarang. Seiring Indonesia merdeka, Jakarta ini terus berkembang ke semua arah menjauhi garis pantai. Namun mulai pada tahun 1970an, terjadi pembangun masif, banyak peruntukan lahan yang berubah. Termasuk rawa-rawa angker yang mitosnya tempat jin buang anak. Rawa-rawa itu dikembangkan oleh pengembang swasta dan kini disulap menjadi kawasan elite nan rapih dan bergengsi yaitu Kelapa Gading. Berhasil mungkin karena dianggap sebagai kawasan Kepala Naga. Kesuksesan itu tentu memotivasi pengembang swasta lain. Dibuatlah Reklamasi Pantai Mutiara. Reklamasi ini menyambung dengan kawasan eksisting Pluit. Bentuknya menjorok ke laut. Agar semakin seperti Kepala Naga. Isinya apartment dan rumah mewah yang tidak semua orang bisa mudah masuk.




Garis putih di tahun 2019 adalah pantai buatan di PIK 2
Eh namanya juga manusia, pasti ada yang tidak mudah puas. Dilanjutlah pembangunan-pembangunan baru di Kawasan Naga Jakarta hingga sekarang. Kali ini daerah Kapuk. Dulunya hanya daerah tambak dan hutan mangrove. Sekarang sudah jadi perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK). Malahan sekarang banget lagi dibangun PIK 2 yang kawasannya super besar hingga masuk ke provinsi sebelah (dan sedang dibangun pantai buatan, WOW!) .
Belum selesai. Kota ini terus melakukan pembangunan. Sekarang lewat reklamasi raksasa. Karena daripada beli tanah yang mahal, kenapa tidak buat tanah saja? Murah kok. Nanti dijualnya mahal. Pasti laku! kan itu Kepala Naga. Dibangunlah Golf Island, yang akhirnya distop Gubernur, padahal sudah rampung pulaunya.

~~
Jadilah Jakarta Utara seperti sekarang. Kota Kepala Naga. Kota yang rapih dan elite. Namun saking mewahnya, justru malah menunjukkan ketimpangan sosial berlebihan di kota ini.
Di balik beton-beton tinggi menjulang, serta kaca-kaca mengkilap, terdapat di bawahnya, rumah dari papan beratapkan seng. Di luar perumahan dengan jalan lebar dan kanan kiri pepohonan, masih ada rumah-rumah dalam gang yang hampir tidak menyisahkan ruang di antaranya. Di samping nikmatnya bermandikan susu, justru anak-anak di balik pagar rumahnya nikmat dengan ‘kolam renang’ warna hitamnya.
Paling cocok memang kata Mbak Dee Lestari; “Kota ini biangnya dualisme. Antara ingin Timur dan berlagak Timur, sembari terdesak habis oleh Barat sekaligus paling keras mengutuk-ngutuk.”
Nasib.