Memang pendakian gunung yang tinggi semestinya terbalaskan dengan keindahan pemandangan dari atas. Perjalanan di laut yang panjang juga semestinya terbalaskan dengan keindahan sebuah pantai. Tapi apakah perjalanan tiga hari dua malam ke Pulau Marabatuan benar-benar terbalaskan?
Saat pertama kalinya aku melihat Pulau Marabatuan, ada rasa pesimis untuk menemukan sebuah pantai indah. Karena yang aku lihat adalah pulau dengan bukit dan batu-batu besar di pesisirnya. Dengan perasaan untuk terus meluruskan niat, kami turun dari KP Sabuk Nusantara untuk lanjut ke kapal nelayan dan pergi ke dermaga pulau Marabatuan. Air lautnya tidak sejernih Pulau Masalembo. Biru gelap, ombaknya besar, ya itu adalah gambaran dari laut di sana.
Dua hari pertama aku dan teman ekspedisi lainnya selalu dihadapkan kontur perbukitan dan panas yang menyengat. Rasanya sangat ingin sekali menyebur ke laut, tapi entah di mana dan kapan. Berdasarkan desas-desus di sini, Pulau Marabatuan memiliki pantai yang indah yaitu Pantai Pasir Biru. Karena ingin sekali ke pantai, sehabis mengajar di SD, Isma, Antal, dan aku pergi ke arah timur yang mana merupakan ujungnya desa Tj. Nyiur demi mencari pantai tersebut.
Selama perjalanan kami menemukan orang-orang baru karena kami tidak pernah pergi setimur ini sebelumnya. Di perjalanan kami juga menemukan anak-anak SD dan seorang ibu yang mau mengantarkan kami ke pantai tersebut. Jalanan beton mulai secara perlahan menghilang keberadaanya, dan kami pun masuk ke area hutan. Apa yang ada di dalam hutan tidak seperti yang kubayangkan karena yang kulihat adalah gundukan pasir putih yang sudah membukit di beberapa titik. Aku jadi teringat bahwa ada isu kalau pasir di pantai sudah semuanya habis karena dikeruk oleh orang dan dijual ke pemerintah. Mungkin isu itu benar adanya saat aku melihat dengan kepalaku sendiri gundukan-gundukan itu.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya si Ibu menunjukkan bahwa inilah pantai Marabatuan. Hasilnya ZONK! Tidak ada pasir sama sekali di pantainya, semua sudah habis dan tersisa batu-batu. Tapi aku bisa melihat jelas bahwa daerah itu memang seharusnya sebuah pantai. Akhirnya kami pulang dengan hanya rasa pegal.
~~
Terlepas dari ketiadaan pantai di pulau utama Marabatuan, ternyata ada infomasi yang lebih menarik; Pulau Denawan. Pulau yang sebenarnya dapat dilihat dari dataran atas. Katanya di sana pantainya luar biasa indah dan ada tempat penangkaran penyu.
Singkat cerita, kami seluruh tim ekspedisi beserta keluarga pak Hamdi mendapatkan kesempatan untuk berkunjung kesana. Menggunakan kapal nelayan yang sudah dibayar, akhirnya kami menyebrangi lautan dengan gagah. Berlayar dengan kapal nelayan sudah menjadi hal yang biasa saat itu karena aku sudah pengalaman naik kapal kecil juga saat Pesta Laut kemarinnya.
Dari kejauhan, sekilas aku melihat Pulau Denawan mirip seperti Pulau Marabatuan; tidak ada pantai haha. Tapi ternyata sisi pulau yang kita tuju bukan sisi yang biasa kita lihat. Kami pergi ke arah barat pulaunya dan saat itulah kami menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat menarik tentang pulau ini. Ya pulaunya memiliki pantai yang indah dan panjang. Setibanya kami di sana, semuanya langsung menyeburkan diri ke air tanpa takut kebasahan karena memang inilah yang ditunggu-tunggu.
Pantai di sini tidak seperti yang biasa ku lihat sehari-hari. Pantainya membentuk huruf U dan menyisahkan laut tenang di tengahnya. Aku menyebutnya sebagai Bak Pantai Denawan. Kami berlari sepanjang pantai sambil menikmati jejeran pohon kelapa yang sangat rindang. Kami juga menyempatkan sholat berjamaah di bagian pantai yang kanan kirinya merupakan laut, luar biasa. Setelah itu, sudah tanpa berpikir panjang beberapa kami langsung menyebur ke bak pantai ini dan menikmati setiap momennya.
Matahari telah lelah, dia ingin beristirahat. Kami semua duduk bersama menikmati langit menyala. Hingga akhirnya langit digantikan dengan pasukan bintang bercahaya. Berhubung pulau ini tidak berpenghuni, kami yang ingin mandi harus pergi ke dalam hutan untuk mencari mata air. Karena tidak ada pilihan lain akhirnya kami memaksakan diri. Lagi-lagi pengalaman sangat seru yang diriku rasakan. Mandi di dalam hutan, dengan mata air di permukaan tanah, dan beratapkan bintang. Rasanya ingin sekali menyombongkan pengalaman ini saat ku sampai ke Bandung lagi nanti haha. Aku sangat bersyukur sekali bisa merasakan kesederhanaan ini, malah membuatku bahagia sekali.
Bandung, 19 Agustus 2017
Fayed, Pemimpi Tapi Tidur
Shaffa A. Qur’any
jadi kangen kkn