Di sebuah malam, bunyi jangkrik dan deratan pintu rapuh memberikan kesan tengah malam, padahal saat itu masih jam delapan. Selalu, sehabis Isya warga pulau Marabatuan sudah menghentikan pekerjaannya dan melakukan kegiatan bersama keluarga di rumah masing-masing makanya kalau kita menyusuri ke jalanan utama desapun akan tetap terasa sepinya.

Kami, berdua puluh enam, berkumpul di masjid untuk mendiskusikan dan melaporkan data dan informasi yang kami dapat dari warga Marabatuan. Data dan informasi ini selain digunakan untuk data primer ekspedisi selanjutnya, juga untuk menjadi bahan penentu apa yang akan kita lakukan esok hari. Dipimpin oleh ka Dhanny selaku koordinator lapangan, kitapun mulai mengeluarkan catatan masing-masing. Buku oranyeku sudah terlihat pucat. Satu persatu kami mengutarakan data dan kisah yang kami dapatkan dari masyarakat lokal. Sambil membolak balikan halaman bukuku, kudengarkan kisah teman yang lain. Terkadang apa yang dilontarkan mereka selalu menjadi sebuah sel dinamit untuk terus menjalarkan api ke tiap sudut otak. Maksudku adalah Pulau Marabatuan ternyata memiliki masalah yang cukup besar dan sepertinya membutuhkan bantuan pihak ketiga sebelum terlanjur hancur terlahap waktu.

Dalam beberapa ucapan yang kuingat, rangkumannya seperti

“SD di sini kan kita udah tau ada tiga, tapi sebenarnya ada satu lagi. Satu ini sebuah madrasah di ujung barat Desa Tengah, Madrasah al Jihad. MI ini udah gak ada yang lanjutin lagi setelah pemiliknya meninggal. MI nya juga swasta jadi pemerintah gakbisa bantu apa-apa. Padahal kata pak Hamdi pengajar di sana bagus-bagus, alias dari orang kota.”

“Pemuda SMP di sini sangat terpengaruhi oleh masa transisi dan pergaulan kota, akhirnya suka banyak yang kebablasan jadi mabok dan berhubungan bebas. Tapi alesan dibalik itu semuanya karena mereka memang ingin terlihat keren di mata teman yang lain. Membanggakan kalau dia itu cowonya inilah, atau udah pernah nyobain ngefly lah, dll. Ya bisa dibilang, masa SMP di sini adalah masa pamer-pamernya para pemuda.”

“SMA di pulau ini cuman ada satu. Persenan orang yang lanjut dari SMP ke SMA pun sebenarnya udah besar. Dan jikalau ada yang tidak lanjut setelah SMP itu karena mereka lebih memilih untuk jadi nelayan alias pergi melaut bareng orang tuanya.”

“Alumni SMA di sini dapat dihitung jari yang lanjut ke perkuliahan. Untuk orang-orang yang jurusannya pendidikan,kebidanan, dan kesehatan  biasanya akan balik lagi ke pulau. Tetapi untuk yang selain itu mereka udah pada betah untuk kerja di kota.”

Dan beberapa data kuantitatif yang aku tak ingat secara pribadi.

Dari semua yang kami laporkan, kami fokus ke data pendidikan formal ; Bagaimana kondisi pendidikan di Marabatuan dari TK hingga SMA dan perkuliahan. Kami juga sebenarnya bertanya tentang pendapat orang-orang di sini terkait pendidikan. Rerata jawabannya sudah seperti orang rerata pikirkan, yaitu pendidikan formal adalah sebuah kewajiban yang sangat penting. Namun, tiba-tiba ada yang mengintrupsi untuk mencoba menceritakan pendapat seseorang yang unik terkait hal pendidikan. Dia adalah ka Rafid, ya dia adalah orang yang sangat bermasyarakat dan dia juga yang kadang mengetahui the hidden insight of this island.

Dia mengutarakan bahwa ada seorang bapak tetua di pulau ini yang dia ajak obrol terkait pendidikan. Mungkin, bapak ini adalah orang yang paling beridealisme terkait pendidikan. Bapak itu seorang nelayan dan memiliki anak yang masih muda-muda. Kak Rafid menceritakan bahwa sebenarnya si Bapak ini tidak akan menyekolahkan anaknya melalui pendidikan formal melainkan dengan diajari langsung oleh bapaknya sendiri. Si Bapak ingin anaknya menjadi nelayan yang tangguh maka kenapa gak langsung aja diajari tips dan trik untuk melaut. Tidak perlu harus belajar mata pelajaran lain yang tidak begitu berguna untuk seorang nelayan. Si Bapak juga sebenarnya peka akan pentingnya teknologi untuk bisa menjadi nelayan yang sukses. Sampai akhirnya ka Rafid melontarkan sebuah kalimat si Bapak yang cukup menggetarkan hati kami.

“Apakah martabat seorang Nelayan serendah itu? Sampai-sampai orang di sini diarahkan perlu sekolah tinggi untuk bisa bekerja di kantoran?”

Pertama kali mendengar, diriku sontak langsung berpikir beberapa hal. Pemikiran pertama, sepertinya aku benar-benar suka menanggap pekerjaan seperti nelayan, petani, tukang kebun, ataupun peternak sebagai pekerjaan yang rendahan dan sehingga generasi penerusnya harus belajar dengan baik biar bisa jadi sarjana dan memiliki pekerjaan yang salary nya lebih besar. Pemikiran kedua,  diriku jadi bingung kenapa si Bapak mengatakan seperti itu, apakah kegiatan yang selama ini kami lakukan terkesan memaksa orang untuk berkuliah? Padahal sejak awal kami sudah sepakat untuk membebaskan orang untuk mengambil jalannya masing-masing dalam menggapai mimpinya. Kita hanya memberikan inspirasi dan informasi yang terserah orang-orang di sana mau mengambil sepenuhnya, sebagian, ataupun tidak sama sekali.

Ternyata tidak hanya diriku yang berpikir mendadak seperti itu, Sonny yang duduk di sebelahku pun juga begitu.

Singkat cerita setelah perbedaan pendapat dari orang-orang di tim kami, kami sepakat untuk menyelesaikan pembicaraan ini dan kembali kepada pemikiran awal kami bahwa pendidikan yang kami bawa adalah berupa pengajaran karakter dan rasa sehingga pemuda-pemuda di sini bisa mencari kemampuan dan potensinya masing-masing dalam perwujudan mimpi. Sehingga tidak akan terjadi pengotakan si ini harus jadi itu, si itu harus jadi ini.

Walaupun sebenarnya tidak akan mudah untuk mendidik manusia dalam waktu singkat.

Tapi semoga pendapat si Bapak bisa menjadi bahan renungan kita semua untuk dapat menghargai semua profesi orang dan tidak terlalu mengeneralisirkan bahwa pekerjaan yang baik adalah yang bergaji tinggi. Karena nyatanya, bernelayan saja sudah cukup untuk menghidupkan dan membahagiaan mereka.

~~

Detikan jam masjid mulai horor. Waktu, tidak terasa, telah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Akhirnya kumpul malam yang cukup menganggu sunyinya Marabatuan ini ditutup. Diriku cukup sedih dan senang. Selama ini, aku merasa sedikit memberikan ilmu ke yang lain dan kurang bermanfaat ke tim ataupun ke orang Marabatuan. Tetapi sangat senang karena banyak pelajaran yang didapat dari ekspedisi ini.

Lalu, tiap kunjungan ke rumah lokal tidak membuatku merasa bangga dan pintar melainkan merasa malu dan bodoh. Seorang calon sarjana Teknik Kelautan ini tidak pantas menyebutkan dirinya sebagai mahasiswa karena selalu saja mereka yang mengajariku banyak hal tentang laut dan kapal, bukan sebaliknya. Kerja keras mereka melebihi usahaku untuk mendapatkan ilmu di bangku kuliah. Mereka merelakan waktu, pikiran, dan tenaga untuk terus melaut tiap pagi demi keluarganya hidup. Sedangkan diriku, yang seharusnya menjadi problem solver akan permasalahan mereka masih bermalas-malasan untuk serius meyerap ilmu selama dua sampai tiga jam di ruangan yang nyaman. Bagaimana diriku bisa bermanfaat bagi mereka? tanya diriku

Sepertinya, mereka lebih layak hidup dan menerima kesempatan berkuliah daripada diriku.

Surat ini kubuat di Kapal Perintis Sabuk Nusantara 57 saat berlabuh di Pulau Masalembo. Ini cerita dan pemikiranku di saat orang lain juga sibuk dengan buku catatan diary mereka masing-masing. Sebenarnya ingin sekali bisa menulis dengan baik dan menginspirasi orang lain melalui surat yang kubuat tiap hari layaknya ekspedisi yang tiap harinya selalu menginspirasi diriku. Tapi kuharap akan selalu ada hal kecil yang menarik di tiap suratku.

Pulau Masalembo, 14 Agustus 2017

Fayed, Pemimpi Tapi Tidur