Sudahkah sampai kepada kalian? kisah tentang dua manusia yang ditakdirkan bertemu sembari gundah gelisah keheranan–kenapa kini diri mereka berada di jeruji sel?

Suatu hari, Kampoeng Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Sebuah gedung di jalan Thamrin sana telah dikepung oleh sekelompok orang. Sebagiannya hadir karena menolak akan kebatilan. Sebagiannya lagi beralasan memperjuangkan kebenaran.

Tak berselang lama, sirine polisi terdengar di mana-mana. Area di depan gedung itu dibuatkan parameter agar tidak boleh ada orang yang melintas. Tapi mana mau si kelompok-kelompok orang ini bubar. Justru malah semakin barbar. Akhirnya sekarang sirine ambulans yang terdengar di mana-mana.

Mulai anarkis, tapi sedikit. Yang awalnya heboh di satu titik, kini mulai bermekaran di sebagian kampoeng. Di saat itulah kisah tentang dua manusia yang ditakdirkan bertemu untuk saling belajar satu sama lain bermula.

Manusia pertama, sebut saja manusia bersorban putih. Datang jauh-jauh dari sebuah kota menuju Kampoeng Jakarta. Manusia ini hadir bersama temannya yang kebetulan adalah supir ambulans. Tentu mereka memasuki jalanan Kampoeng Jakarta dengan ambulans itu. Niat mereka satu; menolong korban dari kehebohan kelompok-kelompok saat itu.

Manusia kedua, sebut saja manusia bertato hitam. Tidak perlu datang jauh-jauh karena memang manusia ini adalah penghuni kampoeng yang sudah dikenal banyak orang. Apalagi dia pemegang peran penting dalam penjagaan di sebuah wilayah Kampoeng Jakarta. Manusia kedua ini sedang berkumpul dengan teman-temannya yang bertato warna-warni. Niat mereka satu; nongkrong aja.

Di momen yang mungkin hampir bersamaan, hal luar biasa–dan aneh–terjadi pada kedua manusia itu. Manusia bersorban putih ditangkap polisi karena ditemukan banyak amplop di tasnya yang kemudian TV nasional memberitakannya bahwa inilah sumber donatur suatu kelompok yang mengepung gedung di depan jalan Thamrin itu. Manusia ini bingung karena memang biasanya dia selalu membawa uang banyak dalam bentuk amplop-amplop. Apalagi ditangkapnya saat telah menolong orang. Tentu niat awalnya untuk amal jariah, eh sekarang malah menjadi pembuka ke pintu jeruji sel. Berbeda dengan manusia bertato hitam, di saat nongkrong santai, tetiba ada suatu kelompok orang berlari terbirit-birit ke arah dia. Tentu mereka adalah kelompok yang awalnya mengepung gedung di Jalan Thamrin itu. Sialnya, manusia kedua ini tidak bertindak cepat. Dia justru malah ditangkap di tempat santainya karena diduga sebagai salah satu juru kunci dari pengepungan gedung itu. Santainya dia kini berujung kesengsaraan di dunia yang sementara.

Hei, pertemuan dua insan yang penuh hikmah semakin mendekat.

Beberapa hari kemudian, di sebuah jeruji sel 2 x 8 meter persegi, keduanya sekarang senasib. Satu sel dengan total 25 orang, tidak ada ventilasi, dan gelap maka dapat dibayangkan bagaimana kondisinya saat itu.

Manusia bersorban putih tidak bisa menahan tangisnya. Dulu di kota asalnya, dia biasa menjadi sosok yang dituakan dan dihormati. Kini semua berubah, semua pakaiannya dilepas, lalu dibiarkan hidup dengan celana pendek–yang itupun diambil dari keset bekas di penjara. Namun tangisnya tidak semua tentang kesedihan kehilangan kenyamanan dunia. Dia justru lebih menangis karena tak habis pikir tentang ayat yang ada di jiwa dan pikirannya, yang mengatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dalam kata lain, manusia bersorban putih sudah dianggap siap oleh Allah untuk diberikan cobaan yang semacam ini. Senyum seketika dirinya, saat mencapai puncak ketenangan bersama Penciptanya.

Manusia bertato hitam melihat Manusia bersorban putih. “Bukan orang biasa…” pikirnya.

Dua jam, dua hari, dua minggu berlalu dengan lambat. Dua puluh lima manusia di dalam sel itu semakin saling mengenal. Mereka bercerita satu sama lain bagaimana mereka ditangkap polisi. Ternyata semuanya ditangkap karena dugaan yang sama, tapi tidak satupun yang akhirnya berhasil terbukti bersalah di pengadilan. Desas-desusnya karena memang banyak salah penangkapan–yang buktinya pun tidak cukup kuat. Walaupun akhirnya, hal itu tidak dijadikan bahan diskusi sehari-hari mereka, karena hanya membuat berat pikiran saja.

Suatu ketika, manusia bertato hitam sadar bahwa manusia bersorban putih adalah tokoh ustad besar di kotanya. Sang manusia bersorban putih pun sudah tahu bahwa manusia bertato hitam adalah tokoh preman besar di kampoengnya.

Sang preman bertanya “Pak ustad, kalau saya mati sekarang, masuk surga atau neraka?” lalu dijawab tegas oleh sang ustad “Ente mah masuk neraka!”

Sang preman merespon “Lah jangan begitu dong, saya maunya masuk surga, nanti pulang saya bersihkan semua tato saya!” lalu sang ustad tetap tegas dengan jawabannya “Bukan karena tato, ente neraka karena tidak sholat.”

Sang preman tersentak “oh begitu yaa…”

Keesokan harinya di jam 3 subuh, sang preman tetiba bangun sendiri, lalu wudhu dan mendirikan sholat. Pak Ustad menyadarinya. Setelah selesai, ditanyalah sang preman “Bang sholat apa?” dijawab langsung sama premannya “Gak tau, saya takut mati besok.” “Semenjak masuk sini saya selalu mimpi buruk, saya takut mati besok.” diulangnya sekali lagi.

Setelah pagi itu, sang preman selalu sholat mengikuti sang ustad. Tak disangka, sang preman pun ternyata seorang vokalis band yang sering tampil di cafe-cafe Kampoeng Jakarta. Suaranya bagus. Itupun diketahui sang ustad tau setelah sang preman meminta untuk diajarin mengaji.

Sekarang setiap mau waktu sholat, sang preman suka pergi duluan. Dia mau siap-siap adzan. Bahkan dia berkata ke teman-teman yang lainnya “Awas! pokoknya kalau sudah mau waktu sholat, saya yang mau adzan!”

Sang ustad pun jadi suka bingung “Kenapa sih ente pengen banget adzan?” dijawablah langsung oleh dia “Eh pak ustad, pak ustad tau gak nyawa saya kapan kembali kepada Allah? saya tidak mau kembali begitu saja. Mudah-mudahan dengan saya ngotot ingin adzan dan sholat sekarang, kembalinya saya gak jelek-jelek banget.”

Sang preman lanjut menambahkan “Pak ustad, saya ini selalu mabok. Mencuri pun sudah miliyaran.” “Masuknya saya kesini ini justru hikmah. Kalau tidak masuk, saya tidak akan ketemu dengan pak ustad!”

Begitulah percakapan singkat yang membuat sang ustad semakin semangat menjalani hari-harinya. Di sel itu, setidaknya kini ada kelompok orang yang menjadi kompak. Mereka dipimpin oleh satu imam untuk selalu melaksanakan sholat dan dipanggil oleh satu muadzin untuk selalu datang ke masjid.

~~

Di tahun ini, sang ustad terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari sel jeruji. Dia balik ke kota dan kembali menjalani profesi dan visinya sebagai ustad. Kemana-mana dia memberikan materi, tidak lupa dia menceritakan kisah hikmahnya dengan sang preman.

Hubungan komunikasi mereka berdua terus berlanjut hingga sekarang. Istri sang preman pun sering berterima kasih karena kini sang suami berubah 180 derajat.

Sang Ustad di kisah itupun suka terharu sendiri mengingatnya. Bukan karena berhasil merubah orang, namun justru karena berhasil mengubah dirinya.