Tidak banyak daerah seperti Pulau Nias di Indonesia. Bukan hanya sebuah petak pulau di samping raksasa Sumatera namun juga pulau yang seakan berbeda dari sekitarnya. Letaknya yang jauh di barat tidak membuatnya dia lumpuh akan infrastruktur. Keberadaannya sebagai pulau bagian dari provinsi besar tidak membuatnya tak percaya diri.

~~

Hari ini, tidak akan seperti hari sebelumnya. Semangat dan kegigihan tim bakal teruji. Perjalanan menempuh dua kabupaten berbeda, sepanjang ratusan kilometer di pesisir Nias, dalam kunjungan ke tiga sekolah dan diakhiri dengan perjalanan naik turun bukit ke sisi lain pulau—Nias Barat—telah menanti.

Lagi, tim terpaksa menggunakan metode split. Bang Jek dan Caca yang ditemani kak Doro dari Komunitas Rumah Kita pergi ke arah utara, tepatnya ke SMAN 1 Lotu. Sedangkan aku bersama Rama pergi ke tempat yang lebih jauh ke utara, yaitu SMAN 1 Tuhemberua. Hingga akhirnya sebelum tengah siang kami harus bertemu di SMAN 1 Lahewa, sekolah di barat lautnya Nias.

Seperti halnya pergi ke berbagai pelosok Indonesia. Wejangan untuk berhati-hati menerima barang selalu ada. Kami diingatkan bahwa orang-orang Nias Utara suka menawarkan makanan atau minuman yang sebenarnya bisa menjadi guna-guna. Tapi kalau dipikir apa benar orang-orang Indonesia sejahat itu? Kupikir orang Indonesia terkenal akan keramahan dan sopan santunnya.

~~

Misi Diseminasi Khusus memang seperti jalan-jalan, tapi misi ini mengharuskan kami untuk tidak berleha-leha akan waktu. Karena simpelnya, dalam seminggu kami harus bisa berkunjung ke SMA sebanyak-banyaknya dengan performa sebaik-baiknya. Uang yang diberikan kepada kami juga lumayan banyak, tapi di balik itu ada sebuah perjuangan  besar orang lain. Aku Masuk ITB bukan hanya tentang Diseminasi Khusus, tetapi juga tentang ITB Day dan Paguyuban Membangun. Orang lain telah merelakan tenaganya untuk mencari dana kepergian kami, orang lain telah merelakan pikirannya untuk memikirkan konten presentasi kami, orang lain telah merelakan waktunya untuk mendiklat dan menemani kami. Lalu kami…? hanyalah orang yang akhirnya dipercaya untuk pergi bersama semua amanah yang dititipkan. Perjuangan orang lain itu tidak lain untuk mengantarkan teman-teman di pelosok Indonesia untuk bisa berpendidikan lebih tinggi lagi, bukan untuk memberikan liburan gratis ke kami.

Jalanan mulai sepi seiring kami meninggalkan kota Gunungsitoli, semakin terasa nyaman saat kami seperti berdua saja di sepanjang jalan. Butiran pasir tersebar. Desiran ombak terdengar. Kapan ya kita akan menikmati pantai Nias? Sebuah pertanyaan yang tidak sepantasnya dipertanyakan.

Walaupun begitu, terkadang ada saja rezeki yang datang tiba-tiba. Setelah hampir sejam melaju motor merah pinjaman ini, Rama melihat sesuatu. Sebuah ujung jalan dengan pantulan birunya, jejeran pohon kelapa berdiri dengan santainya, serpihan pasir dengan tariannya, semua seakan sedang menikmati cerahnya langit hari itu. Inilah bonus perjalanan! Di ujung sana ada pantai eksotis menyelimuti pinggir daratan sepi.

Bonus Perjalanan
Kehidupan Pelaut

Berhenti sejenak sepertinya bukan masalah. Berhubung kami sadar diri ya otomatis gak akan berenang, tapi sekedar melihat aktivitas Ono Niha bersama kapalnya sudah menjadi hiburan sendiri. Semenit Ram, Lima menit Ram, Sebentar Ram fotoin gua dulu. Kami gak bisa muna, foto-foto berpose seperti sudah menjadi sebuah kewajiban waktu itu. Hitung-hitung buat bahan laporan ke netizen yang udah kangen.

~~

Ada pasar berarti ada kehidupan. Pagi di Kecamatan Tuhemberua mirip seperti pagi di Bandung. Bedanya adalah pasar di sini digelar di tengah jalan raya utama. Manusia membanjiri jalan bagaikan semut yang menemukan sumber gula. Tiga ratus meter dari pasar, SMAN 1 Tuhemberua berdiri di atas bukit. Sekolah dengan visi “Beriman, Berdisiplin, Berprestasi, Berbudaya, & Berteknologi” ini benar-benar menampar semua dugaan. Awalnya kami pikir sekolah ini gak akan beda jauh kayak sekolah-sekolah lainnya yang ada di luar ibukota daerah—tidak begitu rapih. Tapi ternyata oh ternyata, gedung sekolah di sinilah yang paling bagus! At least dilihat dari kulitnya.

Di sini, tiap kelas memiliki gedungnya masing-masing. Pengaturan landscape taman dan jejeran pot benar-benar mempercantik sekolah. Lapanganpun bertingkat-tingkat. Ada pula air mancur besar, aula outdoor, dan kantin “nongky” para guru. Namun terlepas dari semuanya, presentasi di sini ada tantangannya sendiri. Tempat yang digunakan adalah aula outdoor, sering sekali siswa pada terdistraksi. Suara speaker pun tidak terdengar dengan baik. Tapi dengan kehebatan dan ketampanan seorang Rama dan Fayed, semua tetap bisa berjalan dengan baik.

Selamat Datang di SMAN 1 Tuhemberua
Hijau Tertata
 SBMPTN ; Hal Paling Sulit untuk Dijelaskan
Untuk Fayed Lucu
Kenangan Terakhir

Perjalanan berjam-jam berlalu begitu saja setelah presentasi 30 menit selesai. Tidak ada waktu untuk mengobrol dulu dengan siswa-siswinya. Begitu juga dengan guru-gurunya. Setelah memberi hadiah buku dan sertifikat kunjungan, kami langsung harus mengejar waktu pergi ke Lahewa, ibukota Kabupaten Nias Utara. Kami gak mau kejadian kemarin di Gomo terulang—gagal presentasi karena kalah berperang melawan waktu.

Caca dan Bang Jek konfirmasi kalau mereka sudah selesai di Lotu, merekapun sedang lanjut ke SMAN 1 Lahewa. Tapi apalah daya, setelah kami tiba di sana, yang ada hanyalah batu-batu diam, lapangan kosong, dan pohon yang tertawa meledek. Lagi-lagi kami kecolongan. Ada gagal komunikasi antara kepala sekolah dengan guru-guru di sana. Pak Kepala Sekolah lupa memberi tahu bawahannya, bawahannya tanpa tahu membubarkan siswa-siswinya. Jikalau setengah jam saja kami datang lebih awal, kami seharusnya bisa menyalakan banyak lilin di pantai utara Nias sana.

~~

Rasa kecewa berulang kali tidak seharusnya mematahkan orang-orang. Angin Nias terus menggerakan kami. Semangat Ono Niha telah menguatkan kami. Walau sebenarnya Rama terus dipusingkan dengan urusan kampus yang tidak bisa diselesaikan di Nias. Kami semua terus bertekad untuk menyelesaikan semuanya sampai akhir.

Mungkin urusan kunjungan sekolah di hari itu sudah selesai, tapi kami masih harus mobilisasi balik ke kota Gunungsitoli, merapihkan barang, dan lanjut bersiap diri untuk pergi ke Nias Barat dengan membawa semua beban tas carrier.

Pulau Nias memang sangat mulus jalan raya pesisirnya, tapi beda cerita kalau jalan raya yang dimaksud adalah yang menembus bukit tinggi dan lembah curam di tengah pulau ini. Jalan raya penuh lika-liku itu masih dalam tahap perbaikan. Pengecoran dan pengaspalan di mana-mana. Truk besar berlalu-lalang yang kadang juga tersendat bebannya sendiri. Tapi ya namanya sebuah investasi pembangunan pasti ada saat di mana kita harus membuang waktu untuk menabung waktu di masa depan.

~~


Atap Baja Rumah Adat Nias

Tujuan akhir kami di Nias Barat adalah Klinik Kefas di Simae’asi, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat. Klinik punya keluarga kenalan ITB yang kebetulan berasal dari Nias, kak Jane Gulo. Masalah utamanya bukan tentang akses kesana tetapi adalah—untuk kesekian kalinya—waktu. Pukul 7 sore, langit mulai benar-benar gelap, dan saat itu kami masih berkeliaran tanpa arah jelas. Ide simpelnya, terus ikutin jalan ke arah barat sampai ketemu keramaian yang diasumsikan sebagai kecamatan Mandrehe. Tapi ya ternyata itu bukan ide baik, karena Nias Barat termasuk kabupaten yang sudah maju dan pembangunannya tidak terpusat. Jadi di saat kami telah menemukan keramaian, ternyata itu bukan Mandrehe. Terus jalan lurus juga bisa menjadi masalah,

“Ya’ahowu, permisi tumpang tanya, Mandrehe sebelah mana ya?”

“Ya’ahowu, Mandrehe sudah kelewat, ini Mandrehe Utara”

, bermodalkan “Ya’ahowu” sebagai salam lalu tanya arah, kami terus meraba-meraba di mana itu Mandrehe, di mana itu Klinik Kefas.

Sudah semakin malam, warung sudah pada tutup, orang-orang menutup diri di rumahnya. Gelap, hanya cahaya bulan dan lampu motor yang bisa menjadi pelita. Pepohonan menyergap lagi, GPS pun sudah tidak bisa memberikan posisi yang jelas. Untung, akhirnya kami temukan juga keramaian yang disebut Mandrehe! Dan kebetulan saat itu ada warung ponsel yang masih buka. Ditanyakanlah di mana itu Klinik Kefas,

“Klinik Kefas, ohh.. yang di bawah jembatan itu? Oke dari sini lurus terus, nanti ada pertigaan pertama belok ke arah kiri, ikuti jalan sampai ketemu pertigaan kedua, lalu ambil kiri lagi, lurus terus sampai ketemu simpang ketiga, nah sekarang ambil ke kanan, nanti saat lurus terus akan ada jembatan, dan klinik kefas ada di bawah sebelah kanan jembatan, pokoknya jangan belok-belok kecuali di pertigaan tadi.” Jawab seorang Bapak tanpa ragu.

Kami hanya bisa percaya dan melakukan apa yang dikatakan si bapak. Tapi kok jalanannya semakin suram, tidak ada apa-apa di sini. Tiap ketemu orang, kami tanya, dan jawabannya persis sama dan detail. Heran sendiri kenapa orang-orang bisa pada presisi, dan juga takut senasib seperti pas di Gomo. Namun siapa sangka, semua detail kata orang-orang itu benar adanya. Ada rumah klinik, besar, setelah jembatan baja di depan.

“Temannya Oi ya? sini masuk-masuk” sapa seorang bapak di balik meja. Si Bapak menyambut kami, menjelaskan inilah Klinik Kefas, usaha keluarganya Oi. Nah, si Bapak adalah petugas kliniknya dan Oi itu adalah panggilan kak Jane di Nias. Padahal sudah hampir tengah malam, tapi klinik ini masih berdedikasi untuk buka dan melayani pasien-pasien di Nias Barat. Jadi wajar saja kalau kebanyakan orang di sini tau persis di mana itu Klinik Kefas. Perasaan jadi lega, untuk kesekian kalinya kami diselamatkan. Kini waktu berjalan sangat lambat, menegur kami untuk segera istirahat.

~~


Pergi KeSekolah

Bayangan tumbuh, sembari mentari naik. Dari timur menerangi kami yang ada di Barat. Semangat pagi merasuki orang-orang, Mandrehe mulai dipenuhi aktivitas para warganya. Ada yang pergi ke sekolah, ada yang bersiap ke ladang, dan ada yang lanjut meneruskan perjalanan panjangnya.

Kini kami benar-benar berada di salah satu ujung barat Indonesia. Tempat di mana Tsunami pernah meluluh-lantahkan segala hal. Tempat di mana teman-teman SMA Indonesia telah bangkit untuk kembali menjadi manusia seutuhnya. Melupakan masa lalu dan menatap masa depan.