Tak terasa, inilah akhir bagi kami untuk melihat wajah-wajah pemilik masa depan Nias. Melintasi jalan, menyapa pepohonan. Kala itu, di jok depan sudah ada kak Yoga untuk menyetirkan kami, dan kak Jenny di sebelahnya. Lebar-lebar kaca mobil dibuka dan udara berhembus masuk tak sabaran. Teriknya langit Nias menandingi rasa asiknya melihat pelajar berkeliaran di jalanan. Tikungan dan cekungan kami lewati. Nias Selatan telah menanti kami yang hendak menutup misi enam hari ini.

~~

Biasanya selain gempa dan tsunami, Pulau Nias juga terkenal akan dua hal lain, yaitu gelombang laut yang tinggi untuk berselancar serta budayanya yang sangat nyentrik dan eksotis. Sedangkan destinasi terakhir kami adalah Kabupaten Nias Selatan, yang bukan lain adalah tempat untuk mendapatkan kedua hal itu.

Betapa beruntungnya untuk bisa mengakhiri semuanya di sini. Misi yang sebenarnya terkesan sangat monoton menjadi sangat menarik karena tiga destinasi sekolah terakhir ini memiliki kisah yang tak terlupakan sampai sekarang.

~~

              Cakrawala Selatan

Sekolah pertama, adalah SMAN 1 Fanayama. Sejak kami di Bandung, sekolah ini lah yang paling membuat kami paling semangat. Alasannya karena sekolah ini terletak tidak jauh dari kampung Bawömataluo yang mana merupakan salah satu kampung adat Nias yang masih bertahan hingga sekarang. Jika kalian pernah mendengar tradisi “loncat batu” maka di kampung itulah para ksatria terbang menaklukan batu setinggi 2 meter. SMAN 1 Fanayama-nya sendiri berhasil membuat Caca, kak Jenny, dan aku geger tak karuan.

Di perjalanan menuju SMAN 1 Fanayama, jika kalian melihat ke belakang maka akan terlihat pemandangan laut menyatu dengan langit. Terlebih di saat kalian sudah tiba di sekolahnya, akan terlihat jelas bagaimana sungai mengalir ke hilir, awan tipis menutupi kota, dan haru kami yang tak terhindarkan.

Bertingkat layaknya dek kapal perang, SMAN 1 Fanayama dibangun dengan gaya budaya Nias. Aku yang suka gila sendiri melihat menawannya arsitektur budaya Indonesia menjadi tak karuan. Cekrek sana, cekrek sini. Manisnya pula, saat kurang lebih dua jam memaparkan materi, tidak sedikitpun kami melihat kejenuhan teman-teman Ono Niha Fanayama. Apalagi di saat finally ada yang berhasil menebak lambang Universitas Padjajaran kurang dari 3 detik!

Saat itu, Tiang bendera menjadi saksi pertemuan kami dengan guru-guru yang murah senyum, termasuk bu Yofita. Bu Yofita adalah guru yang setia menemani kami selama presentasi di kelas. Tak sengaja, keesokan harinya, aku kembali bertemu si ibu di Desa Bawömataluo. Tentu dengan penampilan yang berbeda, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Kenalnya dengan dia membuatku tau beberapa insight tentang kampung tempat tinggalnya.

Tiang Bendera
Pandu Putri
Bu Yofita
Kak Yog – Alay – Warna – Bungsu – Kak Jen – Tampan – Hmm
Desa Bawömataluo

Taukah kalian, bahwa kini peloncat batu merupakan sebuah profesi. Layaknya menjadi atlet yang perlu berlatih bertahun-tahun, para peloncat batu juga seperti itu. Bahkan demi pengasahan kemampuan yang memuaskan, mereka rela menggantikan waktu belajarnya untuk latihan. Atau dalam kata lain, mereka bisa saja tidak bersekolah sejak SD! Tentu hal ini jadi sesuatu yang sangat menjadi pertimbangan di zaman sekarang, jadi tidak aneh jikalau jumlah peloncat batu semakin kesini semakin sedikit. Nah demi menghargai usaha mereka, kini tradisi meloncat batu perlu dikomersialkan dengan harga Rp 150.000 per seorang sekali loncat.

Maka pertanyaanku ke bu Yofita adalah lebih baik mempertahankan budaya atau memperjuangkan hak pendidikan individu? Berhubung dia guru, tentu kalian sudah tahu apa jawabnya.

~~

Sekolah kedua adalah SMAN 1 Luahagundre. Sekolah yang awalnya tidak masuk kedalam rencana perjalanan namun tiba-tiba dikunjungi karena permintaan orang setempat. Beda dari SMAN 1 Fanayama, sekolah ini berada di pesisir. Waktu itu adalah giliran Bang Jek, Rama, dan Kak Yoga yang presentasi. Tiga laki yang saking serunya membuat kondisi kelas tidak kondusif. Tiap mereka melucu pasti ada saja yang membalas guyonannya. Finally juga ada temen-temen Ono Niha yang benar-benar membuat kami kewalahan karena jadi terlalu sibuk untuk tertawa bersama daripada fokus dengan konten presentasi.

Esoknya di saat kami sedang menuju Pantai Sorake untuk melihat suasana pantai Nias Selatan, kami berpas-pasan dengan seorang perempuan yang wajahnya sangat familiar. Dia membawa papan selancar. Aku dan Caca tak kenal, tapi Bang Jek dan Rama sangat yakin pernah melihat wajah itu. Setelah beberapa menit, Bingo! Dia adalah perempuan yang paling heboh di SMAN 1 Luahagundre kemarin. Namanya adalah Warna. Kami turun dari mobil, ngobrol-ngobrol, dan yaampun, ternyata dia adalah salah satu perselancar wanita pertama yang ada di Nias.

 SMAN 1 Luahagundre
Warna ‘The Surfer Girl’
Tambang Pasir as Always

Jadi dulu sebelum kejadian Tsunami Aceh, bule banyak yang belum tahu keberadaan pulau ini. Lalu perlahan-lahan saat informasi tersebar bahwa ada surga selancar tersembunyi di barat Indonesia, barulah perlahan-lahan budaya barat itu mempengaruhi kehidupan orang pesisir Nias. Warna yang kebetulan tinggal di dekat pantai, otomatis jadi sering berinteraksi dengan bule dan akhirnya diajarkanlah cara berselancar. Sebenarnya belajar berselancar itu hal biasa tapi kalau yang belajar adalah perempuan Nias, baru itu hal luar biasa. Maka dari itu Warna menjuluki dirinya sebagai ‘Warna the Surfer Girl’.

“Saya nanti kuliahnya mau di Bali, biar belajarnya bisa sambil kerja mengajari orang berselancar” Yakin dia dengan rencana masa depannya. Walaupun di akhir kami baru sadar, bahwa sebenarnya Warna masih kelas sepuluh SMA. Namun tetap tidak menghalangi dia untuk hadir di presentasi kami.

~~

Waktu semakin siang, kami yang awalnya terpencar kini bertemu kembali untuk resmi mengakhiri misi diseminasi khusus di sekolah terakhir, yaitu SMAN 1 Telukdalam. Sekolah yang sangat layak dikatakan sebagai sekolah penutup karena memang banyak hal lucu, seru, dan mengharukan terjadi.

Beda dari biasanya, masalah kami di sini bukanlah masalah waktu yang mepet, melainkan ruangan yang kepepet karena tak sanggup menghimpun 400 siswa kelas duabelas. 400 siswa kelas duabelas! Akhirnya terpaksa kami merembuk dengan pihak sekolah untuk menyaring beberapa orang.

Siang itu matahari sedang menunjukkan kegarangannya. Tapi tidak lebih garang dari ekspresi dan cara bicara wakil kepala sekolah kepada siswa-siswinya yang sudah dikumpulkan di tengah lapangan. “Kita kedatangan teman-teman dari ITB Bandung untuk berbagi kepada kalian tentang perguruan tinggi. Jadi saya minta, bagi yang mau sungguh-sungguh mendengarkan silahkan tinggal di sini, dan bagi yang tidak peduli dan tak mau mendengarkan, silahkan pulang!,” lantangnya. Suruhan yang seharusnya membuat sebahagian orang pulang duluan malah membuat semuanya beku di tempat karena ketakutan. Kami yang melihatpun jadi hanya bisa senyum-senyum sendiri.

Wakepsek Batik Cokelat
Jangan Takut Dek

Singkat cerita, berhasil lah seratusan siswa dan guru-guru dikumpulkan di dalam aula. Pak Wakepsek kembali memulainya dengan kalimat yang menegangkan. Semakin kakulah suasana dalam kelas. Terpaksa stok ice-breaking kami yang seharusnya digunakan di tengah dan di akhir jadi dikeluarkan semuanya di awal. Karena membuat teman-teman Ono Niha merasa nyaman adalah sebuah kewajiban sebelum memulai semuanya lebih jauh.

Tak terbayangkan, rasa antusias saat itu berhasil membuat kami semua bertahan hingga tiga setengah jam kedepan. Bahkan orang-orang yang tak berkesempatan masuk rela menonton dari jendela. Kami menjelaskan semuanya dengan perlahan, memutar video ITB berkali-kali, dan memberikan semua sisa merchandise ITB yang tersisa. Dan, finally lagi, kali ini jumlah teman-teman Ono Niha yang bertanya sangat-sangat banyak. Saking banyaknya kami harus memutuskan siapa yang beruntung mendapatkan kesempatan langka ini. Mulai dari yang terlihat pemalu, atau yang selalu juara kelas, juara umum, bahkan hingga ketua OSIS. Sungguh, menjawab semua pertanyaan mereka adalah kepuasaan yang tidak dapat tergambarkan dengan kata-kata lagi.

Inilah penutup, menggairahkan melebihi perut yang lapar, bahkan jika tidak dihentikan, bisa-bisa terus berlanjut hingga larut malam.

Sponsored by Net Media
Radhika yang Bermimpi Kuliah Kedokteran UGM
SMANSA TELDA
Penghabisan
Kebaya Kuning, Kepala Sekolah

~~

Perahu-perahu menepi. Koral-koral tertutupi. Inikah yang dikatakan perjuangan melelahkan? Tetapi mengapa kini rasa rindu tak terelakan. Langitpun jingga terbenam, melihat sendu kami ber-enam. Pikiran tentang esok presentasi sudah tak ada lagi.

Aku, Caca, Rama, Bang Jek, Kak Jenny, dan Kak Yoga saling meratapi. Semua tentang penyebaran informasi dan motivasi di pelosok Indonesia, Apakah semuanya telah selesai? Mungkin kita bisa bilang ini adalah yang terakhir. Namun ternyata tidak, Diseminasi Khusus bukan hanya tentang datang lalu pulang. Tetapi juga tentang membentuk orang yang datang untuk pulang.

Berakhir

Pulau Nias termasuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Pulau Nias juga termasuk daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah kalian pernah membayangkan jika bersekolah di tempat dengan keterbatasan akses tentang apa dan bagaimana teknis SNMPTN, SBMPTN? Bahkan untuk setingkat kepala sekolah pun banyak yang tak sengaja mengabaikan tentang nasib pendidikan lanjutan muridnya. Lalu siapa yang akan memberitahu informasi semua itu ke mereka? Kita yang di kota tentu tak perlu memikirkannya, sebagian di daerah besar pun sudah banyak teman yang berpengalaman kuliah lalu kembali untuk memberi tahu. Tapi kondisi di Nias berbeda, mereka butuh inisiator.

Alangkah indahnya jika nanti di kampus gajah yang sudah sumpek dengan kearogansiannya, ada seorang mahasiswa atau mahasiswi yang mengatakan, “Saya di sini, karena kakak-kakak DK.” “Saya jadi sangat ingin kembali ke Nias untuk keliling menyebarkan informasi dan motivasi karena saya kini sudah tau banyak hal.”

Perlahan-lahan, informasi dan motivasi ini tersebar dari mulut ke mulut, sehingga menjadi hal yang tertanam di darah daging pelajar kelas dua belas. Karena lagi, Diseminasi Khusus bukan hanya misi menyebarkan inspirasi sekali. Tetapi juga tentang membuat semangat meneruskan rantai inspirasi.

Karena pendidikan ialah hak segala bangsa dan setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.