Akhir April 2019. Pertama kali ku melihat entitas asli dari sebuah kota yang disebut Jakarta Utara. Melihatnya pun tidak disengaja, melainkan karena diajak. Miris karena yang mengajakpun ternyata orang-orang Belanda, perwakilan dari perusahaan-perusahaan raksasa Belanda. Mereka dibayar oleh kerajaan bangsanya untuk mengurusi kota Jakarta, terutama pesisirnya. Alasan mereka simpel, Indonesia berhutang budi besar. Dahulu, Indonesia lah yang membangun Belanda, ekonominya meroket karena bank dagang mereka jadi luar biasa produktif. Bahkan hingga game Age of Empire—game komputer pertarungan bangsa-bangsa—memberikan kemampuan spesial bagi bangsa Dutch berupa bank yang memberikan coins tiap 2 menit permainan. Tidak ada bangsa lain tuh yang punya kemampuan spesial seperti itu di game, hanya bangsa Dutch, dan mungkin karena Indonesia.

Tapi sebelum bercerita ke pesisir Jakarta, lebih baik cerita dengan yang bagus-bagus dulu sebagai bentuk apresiasi kepada mereka yang telah melakukan banyak pembenahan.

~~

Di Jakarta, sekarang banyak bis-bis berkeliaran. Warna biru, warna abu, warna orange, warna emas, hingga warna pink sekalipun. Bisnya bukan sembarangan bis. Bis ini sudah menjadi ciri-khas Jakarta. Pertama kali muncul dianggap sukses besar lalu perlahan mulai merosot imagenya karena banyak hal skandal dan konspirasi terjadi; mulai dari bis nya yang datang 1 jam sekali, terjadinya pelecehan seksual dalam bis, pembelian bis cina yang ‘dianggap’ abal-abal, konsep jaringan yang tidak efektif, dan lain-lain. Tapi bukannya menyerah, bis ini malah semakin serius bebenah 180 derajat. Saking seriusnya bis ini jadi punya slogan baru, yaitu  #KiniLebihBaik. Tau kah apa itu? Itulah bis Transjakarta di bawah payung PT Transportasi Jakarta.

Bis Metrotrans | Informasi Interaktif dalam Halte | Halte Transjakarta

Kalau kalian memang orang Jakarta yang suka naik transportasi umum, pasti akan merasakan sekali perbedaannya. Dulu, sebelum masuk halte saja sudah males karena tidak menarik. Tapi sekarang haltenya selalu dilengkapi dengan signage alias petunjuk yang ciamik dan hiasan modern. Lalu saat masuk halte, sudah tidak ada lagi tuh cerita beli tiket ke loket terus dikasih kertas terus lapor ke petugas terus diizinin masuk. Sekarang sudah tinggal tempel kartu ke gate, lalu masuk dan enjoy. Dulu, naik Transjakarta orang banyak yang takut tersesat, namun sekarang peta jaringan transportasi Jakarta sudah dipermak abis-abisan hingga tersedia dalam bentuk digital interaktif. Hebatnya lagi, banyak yang terjadi ini diinisiasi oleh anak-anak muda yang tergabung di Forum Diskusi Transportasi Jakarta. Memang yaa anak muda. Luar biasa!

Selain Transjakarta yang telah ada sejak lama, kini ibukota Indonesia juga sudah punya Mass Rapid Transit atau MRT. Kereta berkecepatan tinggi yang sekali jalan bisa menampung hingga dua ribu orang. Dibangun secara layang dan bawah tanah, melayani putra-putri korporat di sepanjang Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Selain itu Jakarta juga sedang membangun jaringan Light Rapid Transit atau LRT. Ini transportasi kereta juga, tapi dengan kapasitas lebih kecil, sekitar enam ratus orang sekali jalan. Dibangun penuh secara layang. Menghubungkan Cawang dengan titik-titik penting Jabodetabek, yaitu Cibubur, Bekasi, dan Dukuh Atas. Diurusi “sepenuhnya” oleh satu perusahaan besar. Di dekat tanah-tanah kosong milik perusahaan itu lah banyak stasiun LRT-nya dibangun. Kelak, tanah itu akan menjadi gedung-gedung hunian baru nan menggiurkan karena dekat jaringan kereta. Woah bisnis.

Tak mau kalah, jaringan kereta andalan Jakarta sejak zaman bahela yaitu KRL Commuter Line juga bebenah abis-abisan. Stasiun dipermak. Armada diperbagus. Pelayanan dimantapkan. Tidak ada lagi cerita tuh naik kereta KRL di atas gerbong ataupun ketemu ayam di dalam gerbong. Kalau dengar cerita dari mulut ke mulut tentang KRL ini sangat-sangat mengharukan. Tidak nyangka gituloh! Masalah seruwet dan berhubungan dengan kebiasaan buruk orang sejuta umat bisa dipecahkan. Alhasil sampai sekarang KRL masih bisa bersaing, dengan ojek online sekalipun.

Pertama kali naik MRT, langsung diomelin satpam karena berdiri di tengah pintu
Naik KRL Commuter Line bareng Baktinusa

Lebih asiknya, sistem integrasi transportasi publik di Jakarta kini sudah terbentuk! Walau belum optimal, tapi gapapa lah ya. Sebutannya adalah Jak Lingko. Ini salah satu program andalan Anies-Sandi tapi waktu itu namanya Ok-OTrip. Syukurlah diganti namanya. Dengan Jak Lingko, seluruh transportasi di Jakarta bisa dibayar dengan satu kartu ini dengan harga yang lebih hemat. Termasuk angkot yang sudah diremajai dan metromini yang sudah ditransformasi menjadi Metrotrans. Salah satu prinsip bebenah yang diterapkan di sini adalah bukan menghilangkan yang sudah ada tetapi mengoptimalkan. Untuk metromini yang terkenal g*blok dan li*r sekalipun.

Kalau berbicara transportasi Jakarta, sebenarnya sudah lumayan lengkap. Kereta bandara pun udah punya. Kereta cepat ke Bandung pun sedang dibangun. Bajaj juga ada, becak ada, bemo pun sekalipun. Tapi ya itu, saking banyaknya orang dan padatnya kota ini, akhirnya masih suka aja amburadul macetnya.

Eeeeeeeeitssss……… akhirnya nemu benang merah biar balik ke cerita awal.

Jadi karena beberapa orang menganggap Jakarta ini sudah terlalu padat dan penuh dengan masalah kompleksitas tingkat tinggi. Bahkan masalahnya itu diperparah dengan keterlibatan perut, budaya, dan kebodohan yang mengakar (astagfirullah kasar, maksudnya perbedaan cara berpikir). Ya akhirnya banyak orang yang mengambil solusi dengan cara yang lebih “menghindari masalah” yaitu dengan membuat kawasan baru di pesisir dan teluk Jakarta. Sebut saja di Jakarta Utara. Taukah apa itu solusinya? Solusinya adalah…

P R O K L A M A S I

R E K L A M A S I

Kalem kalem… Reklamasi tidak seburuk yang dibayangkan, dan tidak seindah pula yang dikonsepkan. Semua tergantung niat. Semua tergantung konstruksi. Semua tergantung… politik.

Berhubung cerita Jakarta Utara dan Reklamasi ini akan panjang, aku akan lanjutkan di catatan Oh Jakarta Kampoengku selanjutnya!

sumber foto cover : Dezeen