Orang-orang bertanya, Fayed setelah lulus mau ngapain? Beberapa kujawab “lihat saja nanti di tulisanku”, beberapa juga langsung kujawab “mau kerja, masuk konsultan”. Sebagian respon mereka akan jawaban yang kedua ini cukup menggelitik. Bagi sebagian orang yang sudah paham cara berpikirku pasti akan mengerti, tapi bagi yang sekedar tahu diriku dari kulitnya saja pasti akan menyinyir.
“Masa sih, pas kuliah aktif di Skhole, mengajar anak-anak, ekspedisi sosial ke sana sini, naik gunung turun pantai, ujung-ujungnya mau ke korporat? Ada apa ini yed?”
Intinya mereka mempertanyakan, buat apa Fayed melakukan kegiatan sosial dan memimpikan memajukan Indonesia tetapi justru malah mau kerja di konsultan pasca lulus. Mungkin di bayangan mereka, Fayed ini lebih cocok kalau sehabis lulus langsung ikut Indonesia Mengajar, terus turun ke desa, jadi orang biasa di sana yang mempergunakan ilmu-ilmunya.
Well, Fayed punya opini yang berbeda, cara berpikir sendiri, dan pendekatan lain kalau membicarakan “memajukan Indonesia”. Jadi ini ceritanya.
~~
Semua berawal saat Pemilu Raya Presiden KM ITB tahun 2019 dimulai. Salah satu calon presidennya adalah Faris. Dengan latar belakang yang tidak berbeda jauh denganku, Faris tentu akan membawa semangat pengabdian sosial ke visi pencalonannya. Suatu ketika, kami berdua janjian dengan kak Nyoman Anjani—mantan presiden KM ITB tahun 2013—untuk silahturahmi sekalian ngobrol-ngobrol terkait rencana pencalonan Faris ini. Dalam benak kami, kak Nyoman adalah sosok yang cocok banget karena dahulu dia juga membawa semangat sosial di visinya, yaitu Pelita Pergerakan Kaum Muda untuk Indonesia.
Tidak terasa, tiga jam mengobrol telah berlalu. Angin sore Bandung waktu itu sayup-sayup. Sinar matahari sudah tak lagi masuk ke rumah. Perbincangan diakhiri dengan sholat magrib berjamaah. Selesai itu, pamitan pulang. Aku sangat bingung. Faris apalagi. Kami sedikit tidak percaya akan obrolan yang baru saja terjadi. Cukup aneh di perasaan kami, tapi secara logika kami setuju. Sebut saja kami habis dicuci hatinya (eh otaknya). Kak Nyoman telah memperkenalkan kami tentang “Profesional Pemberdaya” sebuah paradigma hidup. Yaitu menjadi profesional di bidangnya tanpa harus menghilangkan semangat sosial yang telah ada. Atau dalam kalimat lain, ini tentang membantu orang banyak dengan cara menjadi pemain profesional di industri.
Pengalaman dia selama jadi Presiden KM ITB membuktikan memang tidak selayaknya kita memaksa semua mahasiswa untuk dekat dengan masyarakat apalagi harus ikut kegiatannya. Terlebih anak ITB, yang tak bisa dipungkiri sebagian besar kuliah karena setelah lulus ingin bekerja dan berkarya. Maka selanjutnya yang dibutuhkan kita-kita para mahasiswa adalah sebuah paradigma baru. Bahwa menjadi profesional dalam bidang masing-masing itu juga bisa berdampak baik bagi masyarakat. Karena rerata industri jurusan di ITB perannya ke masyarakat sangat besar sekali. Asalkan saat menjalaninya, diri kita selalu dipenuhi dengan rasa empati, dan kepekaan akan orang lain. Lebih baik lagi jika memang diniatkan untuk ibadah. Kalau unsur-unsur di hati itu sudah tumbuh, nanti secara otomatis akan selalu timbul sinyal di otak untuk berbuat terbaik dalam pekerjaan. Sehingga tidak akan ‘berdosa’ orang yang akan kerja di industri tersebut.
Sebenarnya cara berpikir seperti ini sudah ku mulai pegang sejak lalu, tapi karena contoh nyatanya ada di depan mata dan diceritakan langsung, semakin menjadi-jadi deh. Kak Nyoman tuh alumni jurusan Teknik Mesin ITB yang tersohor itu, juga mantan presiden KM ITB yang melegasikan organisasi Pelita Muda, dikenal sebagai perempuan tangguh, sehabis lulus eh dia langsung kerja di PT Unilever. Alasannya simpel : Unilever ini perusahaan besar yang menguasai food and beverages seluruh dunia termasuk Indonesia, dan kak Nyoman ingin menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di sana dulu dan memastikan perusahaan ini tidak berujung sewenang-wenang. Satu-dua tahun pertama memang dia jadi ‘babu’. Keliling menemani distributor ke warung-warung dalam gang ibukota maupun desa. Dia merasakan bagaimana perputaran barang ini dilakukan secara masif. Begitupula saat di pabrik, dia melihat bagaimana mesin-mesin bekerja untuk mengolah seluruh kebutuhan orang banyak. Di sana dia menyadari manfaat akan keberadaan perusahan ini, termasuk yang dia lakukan. Sabar terus belajar dan bekerja. Alhasil, sekarang dia sudah menjadi sosok terhormat dan berpengaruh di perusahaan. Lama-kelamaan bisa jadi seluruh nasib perusahaan akan ada di tangan dia.
Ah klasik itu yed, semua orang juga alasannya begitu, nanti kalau sudah jadi manajer pasti lupa diri.
Ya mungkin, tapi tunggu dulu! kita harus liat lebih dalam sedikit. Mimpi dia sesungguhnya sebenarnya ada di sesuatu yang sesuai jurusannya; MESIN. Dia bekerja di Unilever sebagai automation engineer alias yang merancang mesin di pabrik. Di Instagram-nya, kak Nyoman sempat berkata begini…
“Kalau satu mesin ini berhasil, bisa direplikasi untuk belasan lagi mesin yg sama di pabrik ini saja, ditambah ratusan lagi di Unilever seluruh dunia. Kalau satu mesin ini berhasil, ratusan kontraktor lokal (lulusan-lulusan SMK) bisa mendapatkan pekerjaan dari orderan pembuatan mesin ini. Memang belum semulus buatan Jerman, Italia, atau European made machine lainnya. Tapi langkah yg panjang dimulai dari satu langkah kecil di dunia manufacturing ini: Membuat mesin buatan Indonesia. Lastly, I am very proud to be Indonesian engineer.”
Itulah Profesional Pemberdaya versinya kak Nyoman; membuat mesin di perusahaannya sendiri, biar tidak harus impor, biar menciptakan lapangan kerja.
Tiap mimpi memang diraih dengan sebuah langkah-langkah. Apa salahnya diawali dengan belajar di “korporasi” besar yang memang sudah menguasai, yang sudah berdampak, yang sudah profesional. Lalu mengambil peran agar hasilnya pun terasa masif.
Jangan salah, peran strategis untuk memberdayakan Indonesia itu bukan hanya di bangku pemerintahan saja, yang begini-begini juga perlu dilirik. Layaknya Bukalapak, yang waktu itu dibangun dengan semangat pemberdayaan wirausaha lokal. Apalagi GoJek, yang tidak disangka-sangka menghidupkan banyak kepala rumah tangga. Bisa juga Kitabisa.com yang membangun kembali semangat gotong royong Indonesia dalam kebaikan.
Ohh zaman berubah begitu pesat. Seharusnya begitupula cara berpikir manusia.
~~
Jadi itulah Profesional Pemberdaya. Di mana menjadi konsultan di teknik kelautan itu tidak kalah bermanfaat dengan mengabdi ke desa. Layaknya bagian puzzle, yang hadir untuk saling melengkapi membentuk kesatuan; Indonesia berdaya.
Semoga Allah kelak tidak akan bertanya ‘lima tambah lima hasilnya berapa’, melainkan akan bertanya ‘untuk mendapatkan sepuluh maka perlu berapa tambah berapa’.
admin
Ini tulisan pertama dari dua cerita yang ingin ditulis terkait nilai yang dipegang setelah lulus. Nilai keduanya adalah “Hidup 14 Peran” Stay tuned!